Harapan

Fitriah Ika Sari
29 Januari 2020 09:41
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Hujan. Di kotaku kadang masih aku temui bau tanah yang menguap karena tetesan rindu dari langit pada bumi untuk saling bertemu sejak beberapa bulan lalu. Januari tahun 2020 nyaris berlalu. Umat manusia abad 21 ini seakan masih dininabobokan dengan resolusi yang mereka ikat sendiri di tengah keputusasaan. Ada saja harapan manusia di tiap tahun baru, bahkan tanpa mereka kenal apa itu resolusi. Petani yang berharap agar hujan sering datang, pedagang es cendol yang mengharapkan panas terik, ibu-ibu yang ingin panasnya sedikit lebih lama demi jemurannya kering, anak sekolah yang ingin disayang guru, para mahasiswa yang berharap skripsinya segera kelar, dll.

Aku sendiri masih berkutat dengan kebiasaan biasa di sekitar tempatku tinggal. Buku masih bertumpuk bekas menggarap proposal guna skripsi atau tugas akhir yang aku harapkan segera kelar di tahun 2019 lalu. Nyatanya tidak. Yah tak mengapa, aku percaya Tuhan masih menyayangiku dengan caranya tanpa pilih kasih dengan ‘makhluk basi’ lain yang senasib usianya denganku di kampusku yang tercinta, haha. Yang aku sangat khawatirkan adalah ketika aku berada dimana setelah aku mendapat predikat seorang sarjana. Penentuan akan benar-benar terjadi setelah toga terpakai. Mau sekolah lagi, atau kerja demi meringankan kerja Bapak?

Sejatinya punya kehidupan yang benar-benar kita rencanakan dan terlaksana dengan mudah adalah zona nyaman yang pada akhirnya membuat kita terjebak pada kenikmatan yang merugi jika tidak dipahami sebagai sesuatu yang tidak abadi. Aku berani berkata, aku saat ini memang tidak pada zona nyamanku, namun aku mencoba menikmatinya dengan bantuan Tuhan dan semangat dari orang-orang di sekitarku. Tahun 2020 ini mungkin seakan menarikku untuk tinggal pada masa lalu yang mencoba membuatku duduk dengan kenangan dan kebimbangan pada masa depan. Hujan masih terdengar di genteng kamarku dan masih dengan aku yang sedang merenung, bayangan-bayangan masa lalu tentang keinginanku begitu indah dengan rencana-rencana yang kadang terlaksanan, tapi juga tidak sedikit yang ‘dibelokkan’ Tuhan agar aku tidak terlalu mencintai duniawi semata, dan mungkin agar aku tidak terlalu lelah. Sekelebatan tekadku di masa dahulu yang ingin tetap sekolah setelah sarjana masih terngiang, namun bayangan kasih sayang orang tua dan keluargaku tidak kalah membenak dalam pikiran.

Jam sudah menunjukkan setengah lima sore, namun langit masih menghitam pekat seakan menggambarkan rumitnya keinginanku saat ini dan menimbang, apa Tuhan memberikanku kesempatan di tahun ini atau tidak. Logis. Harapan yang logis seakan membatasi diri untuk mencapai keinginan tertinggi, namun pikiranku menerawang bahwa bersikap logis itu juga sangat perlu dan bagian dari keseriusan kita tentang impian yang akan kita raih. Berlanjut dengan berprasangka baik, lagi-lagi di tahun ini aku masih mengikat janji agar demikian, berprasangka baik pada segala hal yang terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi.

“Ra, tolong anterin pisang goreng ke tetangga depan ya..!” teriak ibuk, membuyarkan segala hal tentang yang aku pikirkan untuk tahun ini.

“Iya”. Langkahku segera kuayun melesat menuju arah dapur.

Bau harum pisang goreng begitu menggoda, ibuku masih berkutat dengan penggorengan yang diberi minyak dan diselami pisang yang diselimuti tepung manis. ‘Masih banyak yang harus digoreng’ pikirku. Kelihatan sekali banyak pekerjaan yang menumpuk di sekitar dapur, piring dll yang masih kotor, sampah di tong yang belum dibuang, dll. Hfftt. Aku menghela nafas, keinginanku tahun ini mungkin lebih banyak diwarnai dengan usaha menyenangkan orang tuaku saja, biar ‘Tangan Tuhan’ sisanya yang mengantarkan.

Hujan masih menderas, kakiku basah diciprati hujan, air yang menggenang menciumi sisi-sisi sandalku yang membuat langkahku bergegas untuk mengantarkan pisang goreng buatan ibuk. Tetangga depanku cukup unik dengan cerita sepasang suami-istri muda yang bekerja bersama di rumah, menghabiskan waktu di luar rumah hanya saat weekend dan pekan liburan. Keduanya sebatas bekerja di depan laptop masing-masing, dan sesekali disibukkan dengan telepon. Keduanya lulusan sarjana tingkat pertama, namun saat aku bertanya penghasilan mereka, ternyata lebih dari penghasilan pada umumnya. Si istri juga disibukkan dengan usaha menjual barang online selain mengisi blog dan mengirimkan tulisannya ke media online atau cetak.

“Mbak Ca… Assalammualaikum… Mas Yo…” suaraku agak mengeras, mungkin mereka sedang bekerja di ruang kerja mereka.

“Iya.. Eh Ara.. masuk Ra..” kata Mbak Ica.

“Pisang goreng mbak, dari ibuk” jawabku.

“Wah makasih lho. Tunggu ya Ra, mbak ganti langsung aja” kata Mbak Ica.

“Boleh mbak…” jawabku lagi, kemudian mataku disibukkan menjelajah foto di dinding ruang tamu.

“Ra, enak lho.. bilang makasih ya ke ibuk.. Ngerti aja aku lagi laper, hehe” kata Mas Priyo tiba-tiba.

“Haha. Lagi lucky dong mas, kebetulan ibuk nggoreng banyak” jawabku basa-basi.

“Emang Mas Priyo tuh Ra, disuruh beli gak mau….” Ucap Mbak Ica sedikit ptotes.

Kemudian percakapan kami disudahi dengan payungku yang nyaris terbang karena angin, cepat-cepat aku pamit dan segera pulangn ke rumah. Ya, kehidupan keluarga seperti itulah yang aku inginkan jika memang Tuhan berkenan untuk segera aku wujudkan, tentu setelah aku lulus sebagai sarjana dan memiliki orang yang mau hidup bersama seperti itu. Haha.

Setelah aku mengembalikan piring dan ikut bersih-bersih di dapur, aku melanjutkan kegiatanku yang sempat merenung, ya.. apalagi, merenung. Eits, bukan sembarang merenung ya, maksudnya tentang banyak hal yang berkaitan dengan rencanaku depannya. Dari segala hal yang aku renungkan, kemudian aku berfikiran bahwa di tahun ini aku harus lebih fokus lagi dalam setiap hal yang sedang aku usahakan, semoga aku bisa lebih baik lagi dari hari ke hari.

‘Ok, lets’ be smart’ pikirku sambil mengambil buku catatanku dan bulpoin.

Apa yang tidak aku jangkau kemarin? Oh, belajar secara intensif Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Syukur sekali aku sudah punya modal Bahasa Inggris yang dapat membantuku belajar Bahasa Belanda.

‘Bahasa Inggris tinggal diperdalam saja, terutama dalam dialog-dialognya atau percakapannya,biar lancar’ pikirku, sambil mencoret-coret kertas yang ada di pangkuanku. Perihal Bahasa Inggris aku memang punya sedikit pengalaman dalam kursus hingga 5-6 tahun di sana, sempat lancar sekali bercakap bahkan bisa berdebat dengan bahasa ini, namun setelah itu luntur karena kesibukan dan tidak ada teman ngobrol setelahnya. So, aku harus intensif perihal ini.

Lanjut untuk Bahasa Belanda, ‘Aku benar-benar ingin sampai ke sana suatu hari, entah karena sekolah, kerja, atau berlibur sekalipun’ tekadku dulu saat pertama kali belajar bahasa ini di semester ketiga saat di kampus. Mungkin karena tekad yang seperti itu aku lebih mudah mencerna dan jatuh cinta pada bahasa ini, rasa yang sejenis saat aku pertama kali menemukan Bahasa Inggris dalam hidupku. Selama tiga tingkat semester aku belajar Bahasa Belanda dengan riang-gembira sepadan dengan nilai-nilai yang aku dapat berkat keinginan besarku. Terima kasih Tuhan. Dalam hal ini, aku benar-benar ingin belajar Bahasa Belanda juga.

Tahun ini, aku seperti harus menyadari apa yang Tuhan berikan padaku tentang kesempatan yang lapang untuk belajar keduanya, maka aku harus belajar tentang mereka. Selebihnya tentang Bahasa Arab, aku sempat terlintas untuk belajar bahasa yang nyaris setiap hari aku temui seusai beribadah.

Kakakku sendiri pernah bilang, “Kamu itu ngerjain apa sih?” tanya kakakku suatu siang saat aku masih semester 3.

“Ngerjain tugas” singkatku.

“Serius amat, apaan?” tanyanya lagi.

“Bahasa Belanda dung” jawabku santai sambil menulis beberapa kalimat jawaban di buku tugasku saat itu.

“Bahasa Arab tuh lho dipelajarin, bahasanya bangsa penjajah aja dipelajari..” kelakar kakakku yang semakin usil dengan mengusikku.

“Iya… Iya.. kalau udah waktunya belajar Bahasa Arab, aku pasti belajar deh” jawabku ogah-ogahan.

Bukannya apa, aku punya record buruk terkait Bahasa Arab sebab aku memang sudah belajar bahasa itu sedari SD-MA (setingkat SMA), namun tidak pernah berakhir baik-baik saja, paling bagus nilaiku juga 72 seingatku, atau jangan-jangan lebih buruk dari itu, haha. So, aku agak mengesampingkan perihal ini.

‘kapan-kapanlah, aamiin’ pikirku.

Coretanku masih banyak yang kosong. Hujan masih saja terdengar, setidaknya suara hujan menenangkan pikiranku. Lanjut dengan keinginanku untuk jadi penulis seperti tetangga depan rumahku, setidaknya aku harus belajar copywriting untuk menunjang tekadku.

Yups, 3 hal yang memang harus aku lakukan dengan benar dalam kesempatan ini sebelum aku disibukkan perihal skripsi yang masih ambyar saja tanpa kepastian dari dosenku. Aku harus segera menyelesaikannya, setelah aku berhasil berkutat dengan 3 perihal tadi, kemudian aku akan fokus pada pengerjaan skripsi dengan senang hati. Aamiin.

“Rara Fitriah Salma, semoga kamu segera berhasil tahun ini. Tahun 2020 akan lebih mudah darimu dan menjadi tahun yang lebih menyenangkan dari sebelumnya, aamiin”. Tulisku. Tuhan akan membantu, aku percaya, tetap fokus dan realistis dengan usaha yang harus tetap dilakukan demi mencapai impian dan target kita.

Hujan sedikit mereda, sayup-sayup aku dengar gerbang rumah terbuka, bersamaan dengan suara mobil menggerung pertanda kakakku datang. Langkahku tak sanggup untuk tidak mendatanginya sambil meminta oleh-oleh darinya yang sejak seminggu lalu ke Bandung, ah serasa masih jadi anak kecil, tak apa, aku masih suka rumah ini, kompleks ini, dan kota ini, meskipun kadang orang-orangnya menyebalkan. Aku berlarian masuk membayangi di belakang kakakku.

“Rujak nih, mau? Tadi beli di dekat alun-alun” katanya.

‘Asem, jauh-jauh ke Bandung terus pulang cuma mbawain rujak! Hfft’ kata batinku hendak protes. Namun aku urungkan, sebab aku teringat panas terik kemarin saat aku benar-benar ingin rujak tapi tukang rujak tidak kunjung lewat di depan rumah, kemudian sukses membuatku kepikiran lezatnya rujak di panas terik waktu itu.

“Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan!” teriakku tiba-tiba, disusul dengan keryitan kakakku.

“Jauh-jauh dari Bandung dapat rujak aja, duh ya, makasih kakak tersayang, gak apa-apa deh hujan-hujan makan rujak… Obat pengennye kemarin” pekikku.

“Hih, dasar bocah, berisik. Skripsi tuh dikerjain!” usilnya sambil menjitak kepalaku dan dilanjut adegan saling mengejar dengan cinta seperti film-film india hingga ke dapur, lalu diakhiri dengan teriakan ibu yang mengusir kami dari dapur. Haha. Begitulah kehidupan sederhanaku dan keinginanku di tahun ini, semoga lekas ada terang dalam buram, seperti kaca yang mengembun karena hujan dan kemudian bersih selepas sinar mentari datang.

29/01/2020, Selesai.


  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •