TAHUN BARU BIKIN GEMES

Lawwdc
29 Januari 2020 19:50
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Payah. Tahun baru lagi, harapan baru lagi, skenario drama baru lagi. Payah, payah.

Pergantian tahun merupakan peralihan kedewasaan seseorang secara samar-samar. Pula diriku, yang dulunya menganggap tahun baru hanya berbicara tentang sebuah momen penghujung akhir tahun untuk berkumpul bersama keluarga, berbincang hingga fajar kembali merekah di bibir bumi, dan menikmati letupan dan lecutan kembang api yang dengan riang merelakan dirinya lenyap demi melihat kau dan aku bersuka. Itu dulu. Ketika aku tidak mengetahui makna tahun baru bagi manusia berkepala 2. Tahun baru lagi. Payah. Tahun 2020 mengikis kembali jumlah menit-menit terakhirku sebelum kembali berpulang sembari melambaikan tangan ke arah manusia-manusia yang menunggu giliran masuk liang bumi.

            2020, angka yang menarik, apakah semenarik petualangan ini? Apakah penting untuk membuat resolusi untuk berevolusi lagi? Sudah terlalu sering aku berjualan resolusi. Terlalu banyak resolusi, terlalu kaya solusi, namun sedikit aksi. Apakah aku sedang mencandai diriku dan masa depanku yang masih perawan ini?

            Sebagai mahasiswa tingkat ketiga, aku mati-matian bergumul dengan kerasionalanku. Aku selalu melihat sesuatu secara rasional, sehingga merancangkan lalu lintas kehidupan selama setahun terkesan kedaluwarsa dan lucu. Terkadang juga, aku menjadikan kepribadian yang ambivert ini sebagai kambing hitam ketidaksusesan resolusi-resolusi mutakhirku. Namun, aku disadarkan bahwa dengan merasionalkan sesuatu ke dalam sesuatu pun tidak akan membuat bumi yang dihuni milyaran manusia ini akan berhenti guna menungguku bergerak maju. Tidak. Bumi bukan milikku. Aku ditugaskan untuk menaklukan bumi, bukan sebaliknya.

Writing is Healing- Shanky

            Mungkin terdengar sangat klise, namun faktanya adalah seorang aku membuat resolusi untuk merayakan keabadian cinta Sang Pencipta untuk nafas, letih, dan kenangan yang sering diadukan menjadi nikmat. Dengan alasan sering mengabaikan resolusi awal tahun yang terkesan berat dan rumit, tahun ini aku mencoba merencanakan resolusi paling amat realistis dan bisa ditempuh oleh kedua kaki. Tahun ini, memproduksi sebuah novel adalah resolusiku. Aku ingin merasakan nikmatnya menjadi seorang pengagum aksara dalam bait dan baris, ingin mengecap manisnya kehidupan lembur demi sebuah halaman yang berfaedah atau susahnya menjadi editor tulisan sendiri.

Pinterest.com

            Aku, mahasiswa Pendidik Bahasa selalu terpojok bila mendengar beberapa rekan mahasiswa seusiaku berhasil menerbitkan buku bersampul modern dengan nama mereka yang terpampang jelas di sudut bawah atau atas buku. Rasanya pasti bangga dan terharu. Aku mencintai tulisan. Juga proses kreatif yang terselubung di dalamnya.

            Untuk mewujudkan resolusi ini, aku mulai dengan menentukan tema novel yang kelak akan menjadi buku yang nyata. Tema percintaan mungkin sudah terlalu menjamur dalam kehidupan pernovelan di Indonesia, persahabatan apalagi. Tapi, proses menjadi manusia memang tidak bisa terpisah dari unsur percintaan dan persahabatan. Kata dosenku, dunia sastra Indonesia menganut tiga unsur yang ultimat, yakni erotik, mistik, dan politik. Ketiganya adalah sepaket dan saling menyumbangkan rasa serta warna yang berbeda dalam novel. Novel yang mengusung tema yang sederhana pun bisa menjadi sebuah karya yang masterpiece. Semuanya berakhir pada tangan gemulai dan racikan bumbu seorang penulis. Apakah aku kelak bisa meracik sebuah tulisan dengan rasa yang pas? Apakah hambar? Atau keasinan? Hingga, aku kembali pada satu titik bahwa rasanya menulis sebuah kisah percintaan bukan masalah sederhana, bukan?

            Setelah menentukan tema, aku mulai membuat konsep cerita dengan bertahap. Diawali dengan pengenalan karakter dan jumlah tokoh, jenis konflik dalam cerita, alur yang digunakan hingga ide teranyar yang ingin dimasukan dalam cerita. Singkatnya, aku akan menulis sebuah cerita antara seorang mahasiswa A yang separuh harinya dihabiskan di gerai kopi milik warga Amerika, kemudian bertemu dengan perempuan B yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Konflik demi konflik akan berhamburan, namun satu per satu akan berjatuhan. Mampukah mahasiswi A menjadi juru kunci pergantian identitas perempuan B?

            Sebelumnya, aku sudah mengatur target yang harus dicapai setiap bulan dalam rangka penulisan novel ini. misalnya, di bulan Januari aku mulai mengobservasi tokoh atau pemeran dalam novel. Selanjutnya Februari- April merupakan waktu penyusunan naskah, dan begitu seterusnya. Untuk proses pengamatan, aku melakukannya di lingkungan kampus atau lingkungan organisasi. Artinya, proses ini akan membantuku untuk menghadirkan warna baru dalam dunia kesusastraan dengan tema yang terlalu familiar tersebut melalui pemberian “nyawa” kepada manusia baru dalam novel. Observasi pun harus dilakukan secara berulang-ulang untuk mendapatkan hasil riset yang mumpuni dan bermutu. Misalnya, kemarin aku bertemu dengan seorang perempuan berkulit sawo matang dengan wajah oriental Sumba bersama garis-garis wajah tegas berdiri berkerumun sembari menunggu lampu merah. Dengan penggambaran tokoh seperti ini, maka pembaca dapat menikmati novel tersebut seraya membiarkan diri hanyut bersama imajinasi liarnya. Penggambaran atau pendeksripsian tokoh pun sangat membantu terciptanya pemahaman pembaca secara tepat

Pinterest.com

            Kegiatan menulis merupakan kegiatan asyik yang aku geluti tiga tahun terakhir dan secara sadar menjadi kegemaran tiap weekend menyambut. Namun, untuk menjadi penulis amatiran yang berkualitas membutuhkan keseriusan dan konsistensi untuk terus berkarya. Kadang-kadang, untuk menyelesaikan sebuah cerpen, aku dapat memakan waktu 5 hari hingga satu minggu. Hal ini memang beralasan. Perkuliahan tahun ketiga yang super duper padat, kegiatan organisasi yang menguras tenaga dan pikiran serta drama tugas kuliah pun cukup rumit untuk dielakkan. Untuk mengatasinya dan mencegah jatuh di lubang yang sama, aku menyisihkan satu jam setiap hari untuk merampungkan tulisan, juga selalu setia mencatat setiap ide di manapun dan kapanpun. Misalnya, di library, ruang rapat, ruang kelas, tempat ibadah, bahkan kamar mandi. Seru, bukan?

            Dalam proses mencapai resolusi ini, aku juga turut berjuang melawan kemalasan dan menunda pekerjaan. Misalnya, menempelkan beberapa lembaran sticky note di dinding kamar dan menulis dengan huruf kapital sebuah motivasi “Masih kuat? Naskah novenya nangis kalo dianggurin!” yang ditempelkan di langit-langit kamar. 

You can make anything by writing-C.S Lewis

            Lalu apa tujuan menulis bagi seorang aku? Menulis adalah obat yang menyembuhkan, dan siap sedia menjadi kuping yang merekatkan dan menjadikan indah tiap kalimat menjadi wacana. Dalam menulis, naluri menuntutku untuk terus menggali hal hal unconscious dalam diri yang bahkan mungkin, terkadang aku lupakan. Menulis membantuku untuk sembuh dari luka dan sendu. Banyak hal hal yang terpaksa dilupakan. Misal, ketika mengalami hal yang sangat sedih, aku membiarkan waktu menghapus segala sakit. Hasilnya, memang ada. Namun aku belum sembuh. Aku hanya melupakan. Dan secara tidak sadar, aku membiarkan luka yang kelihatannya hilang itu menjadi sasaran empuk setan memporakporandakan sukacita yang ada. Proses yang sulit ini pun menjadi sesuatu complicated. Ketika luka tersebut diajak untuk bangun kembali, tentunya luka luka itu akan menjadi bumerang buat keberlangsungan dan resistensi dalam menjalani hidup. Dengan demikian, menulis adalah obat kapsul dan tablet yang menyembuhkan, mengompres, membasuh, membalut dan menghilangkan akar penyakit.

Aku biasanya menjadikan kegiatan menulis sebagai terapi untuk sembuh dan bercerita segala hal yang baik dan buruk. Hasil tulisan yang disimpan bertahun tahun tersebut juga menjadi reminder dan parameter untuk mengukur pertumbuhan individuku dalam proses “menjadi manusia”.

#Merdekaberesolusi

#Resolusiprosesmenjadimanusia

#Resolusimenulismenjadiobatyangmenyembuhkan

Kategori: Artikel


  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •