Sebuah Pesan Perempuan Seperempat Abad

Inayatul Inayah
27 Desember 2019 12:21
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Aku terbangun dari tidur pulasku. Gelap. Aku mencari sebuah benda berukuran 5 inchi. 00.32-angka yang tertera pada layar HP yang saat ini sudah ada dalam genggamanku. Tak ada pesan singkat melalui whatsApp, panggilan tak terjawab ataupun direct message melalui instagram. Setelah memainkan layar dengan mengusapnya ke kanan, kiri, atas dan bawah selama kurang lebih 30 menit, kemudian aku terlelap kembali. Ku kubur rasa kecewa dalam-dalam, berharap terobati oleh mimpi bertemu sang pujaan.

Hari ini tepat tanggal 21 Desember 2019. 25 tahun lalu, aku menjadi satu dari jutaan hamba Allah yang terlahir di dunia ini. Semoga saat itu menjadi salah satu moment yang membahagiakan bagi Ibu, Bapak serta keluarga besar lainnya. Amin.

Malam itu, ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku, apakah tak ada satu orangpun yang ingat hari lahirku? Padahal ini adalah usia yang aku tunggu-tunggu, seperempat abad.

Kalaupun aku harus kecewa, aku harus kecewa kepada siapa? Kalaupun aku harus marah, aku harus marah kepada siapa? Kalaupun aku harus sedih, apa yang membuatku sedih? Seluruh pertanyaan ini muncul tepat pada pukul 03.15 WIB. Yap, aku terbangun kembali setelah terlelap tadi.

Seluruh pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam fikiranku. Siapa yang kunanti? Siapa yang kutunggu? Dan siapa yang aku harapkan? Bukankah dari keluarga tidak pernah ada ucapan ‘happy birthday’? Apalagi perayaan ulang tahun dalam bentuk apapun. Karena hal tersebut bukanlah tradisi dari keluarga kami, apalagi dari agama kepercayaan kami. Doa mereka terpanjatkan tak hanya ketika aku ulang tahun, melainkan setiap hari. Apalagi Ibu, setiap berbicara melalui saluran telepon, tak henti-hentinya, Ibu bilang bahwa satu-satu-nya hal yang tak luput dipanjatkan setelah selesai sholat wajib maupun sunnah adalah mendoakanku.

Lalu, siapa yang kutunggu?

‘Bukankah sejak keluar dari kampus S1, kamu selalu menyembunyikan tanggal lahir?’ Batinku. Hanya karena tak ingin banyak orang tahu dan sadar bahwa perulangan tanggal dan bulan lahir setiap tahunnya bukanlah sesuatu yang harus dirayakan secara megah dan mewah. Namun menjadi suatu moment untuk muhasabah diri dan kesempatan untuk meperbaiki apa-apa yang belum maksimal lagi sempurna.

Dulu, pada tahun 2015, banyak dari temen-temen yang memberikan surprice. Mulai dari temen satu angkatan, temen satu geng, temen satu departemen di organisasi, temen satu kosan, maupun temen satu lab. Semakin banyak organisasi atau komunitas yang diikuti, maka akan semakin banyak pula kejutan yang menanti. Belum lagi privat surprice dari orang-orang tertentu. Yup, sepanjang bulan Desember rasanya full of surprice! Hati rasanya senang sekali, ternyata banyak dari temen-temen yang sayang dan peduli terhadapku.

Sekarang, setelah keluar dari dunia kampus, sudah tidak ada lagi rentetan surprice seperti jaman di kampus. Lalu apakah tidak ada yang peduli? Apakah tidak ada yang sayang? Sungguh jika definisi peduli dan sayang hanya sebatas ingatan terhadap tanggal lahir kita, hanya sebatas pemberian kejutan di hari ulang tahun kita, rasanya kita perlu menilik kembali tingkat kedewasaan kita. Banyak orang yang sayang dan peduli terhadap kita, selalu ada untuk kita, selalu membantu kita disaat kita membutuhkan bantuan mereka, tanpa tahu hari lahir kita, tanpa perlu ngasih kejutan pada saat ulang tahun kita.

Maka, dari sinilah, pemaknaan tanggal lahir bukan hanya sebatas ucapan selamat ulang tahun, kue ulang tahun, tiup lilin, dan kejutan yang diberikan, yang sama sekali tak menunjukkan rasa syukur kita atas kesempatan yang diberikan oleh Tuhan untuk terus mengevaluasi, memperbaiki dan mawas diri.

Tanggal lahir harusnya menjadi salah satu momen syakral dalam hidup kita untuk berbenah, menengadah, memperpanjang doa dan syukur kepada Illah.

Lalu pada sepertiga malam pertamaku diusia seperempat abad, aku memutuskan untuk bermunajat, merendahkan sujud, dan melangitkan doa. Semoga Allah ridho dengan segala apa yang telah dilakukan 25 tahun yang lalu maupun hal-hal baru yang akan dilakukan ditahun-tahun berikutnya. Amin.

*****

Lalu siapa yang ku nanti? Hingga aku sekecewa ini?

Iya, aku hanya manusia biasa, yang imannya masih naik turun, yang ke-istiqomahannya masih harus terus dipupuk. Aku hanya seorang perempuan lemah yang harus terus disadarkan, yang perasaannya mudah tergoyahkan.

Malam itu, aku menunggu seorang “teman” menghubungiku, hanya untuk mengucapkan atau setidaknya mengirimkan pesan ucapan selamat ulang tahun. Aku menunggu hingga 23.59 di tanggal 21, hasilnya NIHIL.

Astaghfirullah. Apa yang sedang aku harapkan? Mengapa aku masih berharap kepada manusia jika aku tahu bahwa hanya kecewa yang kudapat? Aku terlalu berharap pada apa yang kau ciptakan ya Rabbi.. Aku sudah merasakan semua kepahitan hidup dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia-Ali bin Abi Thalib.

Tidak ada tempat bersandar yang paling kuat kecuali Dia,

Bersandar di sebatang pohon, pohon akan lapuk,

Bersandar kepada manusia, manusia akan mati.

Bersandar kepada Dia,

Hayyun la yamut, dia yang hidup tidak akan mati tuk selamanya.

Perlahan, aku mulai sadar, bahwa apa yang belum halal bagi kita, belum tentu menjadi takdir kita. Jadi, pandai-pandailah menjaga harap.

Tak dipungkiri, godaan terbesar pada usia yang cukup matang untuk menyempurnakan separuh agama adalah menjaga kemaluan atau syahwat. Jika kita tak mampu mengolah rasa dengan baik, maka setan dengan mudahnya akan menjerumuskan kita kepada hal-hal yang dilarang Allah ataupun hal-hal maksiat yang dibenci Allah. Contoh kongret yang sering terjadi di lingkungan kita yaitu menjalin hubungan dengan lawan jenis (re: pacaran). Pacaran disini tak hanya dimaknai sebuah status saja, termasuk didalamnya adalah seluruh aktivitas antara laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) dan melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat Islam.

Guru saya berpesan, iman manusia memang sering naik turun, namun seberapa cepat kita sadar dan mampu mengembalikan iman kita untuk tetap stabil, itulah yang membedakan kualitas keimanan seseorang. Bisa dibilang, salah satu manajerial yang patut kita kuasi adalah manajemen futur (kondisi dimana iman sedang melemah). Salah satu cara untuk mengelolanya yaitu, terus mendekat kepadaNya, mendahulukanNya, menjalankan perintahNya, manjauhi laranganNya, memperbanyak ibadah sunnah serta berkumpul dengan orang-orang yang dekat kepadaNya. Maka memiliki teman baik, yang terus mengingatkan dalam hal kebaikan menjadi salah satu aset yang mahal dalam hidup kita. Jika kamu telah menemukannya, jagalah Ia, bisa jadi, Ia yang akan membawamu menuju surgaNya Allah Ta’ala.


  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •