Corona dateng, Indonesia Harus apa?
Badai COVID-19 yang menerpa Bumi pertiwi pada awal Maret membawa kepanikan dan kekalutan dalam diri setiap orang. Tentunya, reaksi dan respons tersebut cukup lazim mengingat wabah ini terlalu liar dalam proses sporadisnya dari tubuh manusia ke manusia lain. Penyebaran COVID-19 yang terbilang cukup “konyol” dan tanpa spasi menghadirkan banyak perubahan-perubahan serta kebijakan yang mengejutkan dalam lalu lintas kehidupan masyarakat. Baik masyarakat pedesaan, semi-perkotaan, hingga perkotaan berbondong-bondong menyelimuti dirinya dengan pengamanan yang sangkil dan mangkus. Tidak berhenti sampai di situ, atmosfir yang tercipta pun semakin membuat masyarakat kocar-kacir ketika pemerintah menyuarakan pemberlakuan social distancing. Label yang satu ini cukup membuat masyarakat “resah”. Terang saja, kebijakan ini tidak memandang usia dan status pekerjaan seseorang. Seabad yang lalu, tepatnya tahun 1918, pernah dibuat resah dengan kedatangan flu Spanyol atau La grippe. Saat itu, Indonesia masih berada dalam cengkeraman kolonialisme Belanda dengan segala keterbelakangan teknologi dan kemiskinan “informasi”. Nyatanya, flu ini bisa dimusnahkan dan diperangi oleh seluruh masyarakat dunia, termasuk Indonesia yang saat itu masih terlalu muda dan “cilik”. Percayalah, COVID-19 bisa diperangi dengan semangat gotong royong. Semangat yang satu ini tidak akan pernah mati. Gotong royong adalah nafas, udara, dan oksigen bagi Indonesia.
Social distancing berdampak pada banyak sektor, termasuk sektor sosial. Tentunya, semangat gotong royong di situasi yang kalut seperti ini harus didukung oleh ketahanan sosial masyarakat. Alangkah sedihnya, jika semangat gotong royong yang gemar diproklamirkan di tengah masyarakat mati melempem seiring dengan egoisme individu yang berdalih karena social distancing. Disadari atau tidak, sikap-sikap di atas akan melahirkan kerentanan sosial yang seterusnya menjadi bumerang bagi ketahanan nasional di tengah-tengah perjuangan melawan wabah ini. Orientasi utama dari kebijakan Social distancing adalah physical distancing yang mengubah pakem dan tatanan masyarakat. Namun, pengertian di atas tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat adat secara benar. Masyarakat menjadi inklusi, tertutup, egois, dan apatis, yang lagi-lagi dalihnya adalah kebijakan ini. Salah satunya terlihat pada berita Detik.News edisi 07 April 2020 mengenai penolakan terhadap jenazah pasien COVID-19 asal Cianjur dari masyarakat setempat. Tidak bisa dipungkiri, kampanye yang tidak holistis menjadi dalang utama terjadinya kasus di atas juga tertutupnya akses informasi kepada masyarakat adat, khususnya pedesaan. Masyarakat gemar berjualan semangat gotong royong, namun menjadi lebur tatkala wabah mengancam nyawa. Wabah dan sektor sosio-kultural memang tidak bisa terpisahkan. Peran sektor ini sangat ampuh bagi kondisi yang tidak menentu. Pemerintah mungkin sulit menjangkau perkembangan daerah-daerah pedesaan. Akibat sulitnya medan dan minimnya informasi yang disajikan. Oleh karena itu, berikut strategi dan upaya penanganan COVID-19 dari sektor sosio-kultural:
- Propaganda masyarakat ; yang meliputi kampanye COVID-19, misalnya gejala yang ditimbulkan, cara penyebaran, pencegahan, dan penanggulangannya. Informasi yang demikian masih belum didapatkan oleh masyarakat pedesaan. Berita yang disampaikan oleh pemerintah daerah pun masih simpang-siur. Alasannya adalah tidak ada kampanye khusus yang dinikmati oleh setiap masyarakat. Semuanya didapat dari media massa-cetak-sosial,serta desas-desus sesama masyarakat. Umumnya masyarakat adat cenderung patuh kepada pemimpin desa atau tokoh adat atau desa daripada pemerintah. Hal ini beralasan karena masyarakat tidak bisa dipisahkan dari budaya dan adat istiadat yang dianut dan diyakini. Tokoh adat atau desa memiliki posisi penting dalam lalu lintas kehidupan bermasyarakat. Tokoh adat meliputi pemimpin agama, tua-tua kampung, kepala rumah tangga, dan perangkat desa. Peran fungsional tokoh di atas berpengaruh bagi keterjaminan informasi yang disediakan. Misalnya, seorang pemimpin agama akan memiliki kedudukan utama dalam perlalulintasan kegiatan keagamaan. Ketika mereka memiliki informasi yang resmi, mumpuni, dan jelas dari pemerintah maka informasi yang diteruskan kepada anggotanya pun akan dipandang benar dan mampu mempersuasi masyarakat. Contoh lain adalah pemimpin adat yang berpotensi memiliki peran penting dalam kelanggengan kegiatan adat, misalnya pernikahan yang melibatkan masyarakat banyak. Bila propaganda dilakukan, maka kegiatan adat dapat diberhentikan dan disesuaikan berdasar imbauan pemerintah. Jika strategi ini dapat dilakukan dengan benar, maka pembubaran kegiatan adat yang terjadi di Bengkulu dan Bone seperti dilansir oleh Tempo.co edisi 2 April 2020 tidak akan terjadi. Oleh karena itu, dengan propaganda ini, semangat gotong royong masyarakat tidak lumpuh selaras dengan hadirnya social distancing. Semangat gotong rotong seyogyanya semakin dipupuk dengan hadirnya wabah ini. Gotong royong yang dimaksud adalah dengan memiliki informasi yang benar mengenai COVID-19, yang seterusnya memberi tanggung jawab kepada setiap individu untuk menjaga kesehatan diri sendiri, yang selanjutnya berdampak untuk menjaga sesama.
- Sosialisasi dini;
Setiap individu dalam masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas. Salah satu cara yang sangkil adalah dengan pembuatan dan penyediaan video atau lagu yang dapat ditampilkan melalui media, misalnya radio dan televisi sebagai wadah informasi yang dekat dengan masyarakat. video atau audio yang disajikan sebaiknya dikontraskan dengan kearifan lokal Indonesia. Upaya ini mungkin hanya bersifat menstimulus dan mempersuasi, namun tidak dapat dipungkiri mampu menjadi pengingat bagi masyarakat untuk melawan corona bersama-sama. Sosialisasi yang diberikan ini juga dapat menjadi embrio setiap masyarakat untuk menjaga diri sendiri dan berbagi informasi yang akurat dengan masyarakat lain.
#Tenanglah sobat, jangan takut sebab Ibu pertiwi setia memeluk perjuangan putra-putrinya