Dari Laowomaru ke Gondangdia
Gondangdia, 2010
Gugusan awan yang berarak cerah pada sore hari mendadak kelabu. Aku menghentikan lamunan dari setumpuk buku dan jurnal tugas akhir yang berbaris rapi di hadapanku. Kupalingkan sejenak wajahku, kulayangkan kedua bola mataku yang berpendar hambar pada semburat langit sore yang kehilangan senjanya. Bau segar tanah menyeruak terbawa embusan angin melalui kisi-kisi jendela kaca perpustakaan kampus. Sepertinya hujan akan segera turun. Aku segera beberes dan berlari menuju halte di dekat persimpangan kampus.
Dengan malas, aku beringsut menaiki tangga kontrakan dengan kaki telanjang. Di luar, hujan lebat. Aku bisa menebak kubangan di depan kontrakanku telah menjelma menjadi kolam kecil dadakan. Ah, dasar. Kuharap, hujan lebat tidak melukai sepotong soreku hari ini. Di sini, dalam sebuah kamar kecil berdinding pucat dengan beberapa coretan hasil seni penghuni lama, aku berada. Aku membuang nafas, menghempaskan tubuh di atas kasur kumal. Maklum, biaya kontrakanku sesuai dengan kantong mahasiswa pelancong sepertiku. Aku terjangkit penyakit akut lagi. Entah mengapa, setiap menghempaskan tubuh seperti ini, aku merasa ketindihan beban terlalu banyak. Tugas akhir yang terseok-seok, pekerjaan yang amburadul, tubuh yang sempoyongan, Ibu-ayah yang selalu lupa berbagi rasa hambar dalam mimpiku. Benar, aku seperti berlari tanpa kaki. Ingin berlari, namun lumpuh. Tidak berlari, aku terinjak, terbentur dan terbentur lagi.
Laowomaru, 2007
Seakan ada yang tercerabut dengan sukmanya, Bapak memandangku gamang. Bapak pulang dengan tergopoh-gopoh, masuk kamar Ibu lalu keluar, memastikan Ibu sudah terlelap dengan obat anti-depresannya. Ibuku, Buorla namanya. Lagi-lagi ia menggemparkan kampungku bahkan hampir saja alam semesta siap merundung rumahku lagi. Sore kemarin, ia bertingkah normal sekali. Makan sendiri, berbicara dengan Bapak bahkan ia membantuku membereskan pakan ternak. Kemarin sore, aku sangat percaya kepadanya, tapi tidak dengan hari ini setelah kecelakaan kemarin malam. Sehabis membantuku, tetiba Ibu menghambur ke luar rumah membawa pisau kecil milik Bapak, lalu mengambil beberapa pakaian di jemuran tetangga. Aku spontan berlari setelah mendengar beberapa anak berteriak keras disusul dengan suara tangis. Oh Ibu, mengapa kau melukai mereka lagi. Aku parau, dan getas. Aku harus menghentikan pergerakan Ibu yang masih membawa beberapa potong pakaian di tangan kanannya, dan pisau yang sudah memulai diguyuri darah segar. Dengan segenap kekuatan, aku bergerak cepat ke arahnya dan menjatuhkan pisau yang konon adalah mainannya. Setelahnya, rumahku dikepung massa. Mereka meminta ganti rugi, menggedor-gedor rumah berpapan kayu milik Bapak dan Ibu.
Bapak memandangku dengan tatapan tenang dan teduh. Ia berbicara denganku nyaris seperti berbisik.
“Terima saja tawaran mereka. kamu harus bisa sekolah, tinggi dan lebih tinggi lagi”
“Bapak mengerti kan maksud tawarannya?”
Ia mengerucutkan kedua alisnya.
“Kamu meragukan pendidikan Bapak? Bapak bisa membaca Fidolia.”
“Bukan Pak, bukan itu masalahnya. Aku harus setia dengan pendidikan ini. Ini beasiswa Pak. Ada kontraknya”
“Tidak apa. Toh, kamu sendiri mau ke sana. Bapak bisa apa jika kamu tidak ingin sekolah di Laowomaru”
“Beda Pak. Beda kualitasnya. Di mana-mana, lulusan pendidikan daerah Jawa akan diterima lebih cepat dibanding lulusan daerah kita Pak.”
“Kamu tidak akan rindu Ibumu?”
Aku menatap mata Bapak yang dalamnya gelombang laut mulai beriak. Tatapannya berusaha menjelaskan sesuatu kepadaku. Kurang lebih seperti, ayolah Fidolia, Ibumu membutuhkan kita di sini.
“Bapak bicara apa? Sepertinya pembahasan kita mengenai pendidikanku ini tidak pernah menemui titik ujung. Aku punya masa depan Pak. Apakah Ibu bisa sembuh jika aku kuliah di Laowomaru?”
Nada suaraku mulai naik. Aku berusaha mengontrol meskipun akhirnya nafasku tersengal kehabisan daya
“Ya sudah. Terserah kamu. Bapak mengikuti keputusanmu saja.”
Bapak berlalu, berjalan menuju arah belakang rumah.
Ibuku, Buorla namanya. Sewaktu muda adalah gadis desa dengan betis indah dan kulit yang bersih. Tutur katanya sopan dan lemah lembut. Ia bertemu Bapak ketika acara tujuh belasan di balai desa. Bapak sangat mengagumi Ibu. Sayangnya, Ibu tidak pernah membalas lirikan mata dan surat cinta dari Bapak. Katanya, jual mahal saja dulu. Dasar, anak muda. Pada akhirnya, entah bagaimana, Ibu melabuhkan hati kepada Bapak. Ibu menikah ketika genap berusia 19 tahun, sedangkan Bapak berumur 29 tahun. Perjalanan biduk rumah tangga mereka pun berjalan normal, hingga suatu hari Ibu harus kehilangan adikku, Commelina. Commelina meninggal terlindas tangki minyak. Aku tidak tahu betul mengenai ceritanya. Tapi katanya, kala itu, Ibu harus merampungkan jahitan kebaya Bu RT, sehingga ia kurang awas dengan pergerakan Commelina yang perlahan mendekati jalanan depan rumah. Alhasil, Commelina meninggal dengan mengenaskan. Seluruh tubuhnya hanyut ditelan bersama besarnya tangki minyak. Ibu kaget setengah mati.
Mulanya, Ibu menjadi sosok yang suka menatap jalanan dengan mata yang kosong, ia juga suka mencuci baju Commelina seolah-olah baju tersebut telah kotor. Hingga akhirnya, ia bertingkah lebih liar lagi. Ia suka menggali kuburan Commelina, membedung boneka peninggalan Commelina, dan tertawa- meratap di waktu yang berdekatan. Ibu dipasung. Katanya, represi dengan cara ini lebih mutakhir untuk menyembuhkan Ibu. Faktanya, Ibu semakin menjadi-jadi. Tidak ada kulihat tanda pemulihan dalam ceruk matanya. Yang tersisa hanyalah pupil yang mengecil, mata yang tidak bernyawa, kosong, dan kesepian.
Aku dan Bapak saling bahu membahu membantu merawat Ibu. Aku sering bersenandung di dekatnya, termasuk ketika ia dipasung. Aku tidak takut karena ia tidak bisa melukaiku. Kaki dan tangannya dibekap dalam pahatan kayu keras dan kasar dengan rantai besi yang saling bertautan mengikat balok kayu yang besar dan berat. Sejujurnya, separuh alat penggerak di tubuhku menjadi lumpuh. Melihat rambut Ibu terjuntai menyapu lantai semen pun sudah mengiris seluruh nadiku. Ibu, aku ingin kau sembuh. Bolehkah kau memasak sayur lodeh dan ikan teri goreng kesukaanku dan Bapak, menyetrika seragam merah putihku, mencuci piring dengan gesit, dan mengajariku berdoa lagi?
Pernah suatu kali, selepas pulang dari sekolah, aku merasakan nyeri hebat di bagian kepala kiriku. Seperti biasa aku mengunjungi Ibu. Ibu tidur terpisah dan terpasung di sebuah bangunan kecil, tepat di bagian samping rumah. Aku memberinya makan siang dan menceritakan tentang kebadungan teman kelasku. Ia menatapku dengan kosong. Air mukanya serasa mati. Tidak kudengar kekehan atau gumaman dari bibir pucatnya. Aku memandangnya awas dan samar-samar. Semuanya menjadi kabur. Dan aku jatuh, tidak sadar. Aku terbangun setelah Bapak menepuk tubuhku pelan. Dengan seragam karyawan PT. Kelapa Sawit, Bapak duduk beringsut sejajar dan menatap Ibu. Meskipun tidak pernah mencium kening Ibu, aku tahu betul di bagian paling dasar hati Bapak, Ibu masih hidup.
Gondangdia, 2008
Sejak memutuskan untuk hidup mandiri seusai perayaan kelulusan SMA, aku sibuk berlalu-lalang di tengah kota Gondangdia. Mengikuti perkuliahan pada pagi hari dan mengajar les pada sore hari. Semuanya berjalan begitu cepat. Aku memang seorang yang sangat berambisi dan keras kepala. Aku hanya ingin menempuh pendidikan yang layak di Gondangdia, tidak lebih. Jika sudah sukses, aku akan kembali ke Laowomaru, menemani Bapak dan merawat Ibu.
Sepulang kuliah, aku menemukan surat bersampul coklat tua di depan pintu kontrakan.
“Bapak tidak enak badan. Bisakah pulang liburan ini?”
Surat rindu dari Bapak. Aku tersenyum.
Laowomaru, 2009
Aku tidak berfirasat apapun selama kepulangan ke Laowomaru. Seperti biasa, aku bangun pagi hari, memasak untuk Bapak dan Ibu, mencuci pakaian kotor, memandikan Ibu jika ia sedang tidak kambuh. Bahkan, pernah suatu saat aku dan Bapak menjaring harapan pada kaca jendela angkot basah yang berbinar kena pantulan lampu jalanan yang temaram. Berharap nadi yang diboyong manusia-manusia malam menggigil dan marah. Asaku, Bapak juga akan pulang dengan angin yang menculiknya malam itu.
Hingga malam itu, Ayat-ayat yang dilantunkan merayapi ruangan serba putih. Lantunan itu kemudian memantul pada ranjang yang berdecit dilucuti kelu, lalu merayap menyusur lorong-lorong ruangan yang serba labirin dengan aneka sakit dan mabuk. Cicak yang saban kali berderit mendadak bisu. Ia pun lupa nada, dan gagu terbius lantunan nelangsa untuk menemaniku merindu pada gundukan berkasur itu.
“Bapak, hari-hari terasa semakin berat tanpamu”.
Kepergian Bapak hanya menyisakan gelap, hitam, pekat, dingin yang menggigit kecil-kecil bagian jantungku. Sakit, tapi tidak tahu di bagian mana. Semuanya luka, berdarah, dan mati. Sejak Bapak pergi, aku menghadapi dilema besar antara Ibu dan pendidikanku. Benar kata Bapak. Seharusnya aku sekolah di Laowomaru saja. aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikanku lagi. Bapak, maafkan aku, maafkan aku yang tidak pernah mendengarmu, tidak pernah memberimu ruang untuk mengatur gerakku. Mungkin, ini terlalu naif. Tapi benar, seharusnya dari dulu aku mendengarmu. Bapak, kini aku harus berjalan dengan pincang. Satu kaki yang kumiliki telah luka dan patah. Lumpuh. Karena kamu
Merawat Ibu lagi tanpa Bapak adalah pekerjaan berat. Aku baru merasakannya. Untuk membayar perbuatanku kepada Bapak, aku belajar serius untuk mempelajari penyakit Ibu. Sebelum kepulangan Bapak, Ibu tidak dipasung lagi. Ia mulai bersikap tenang ketika diajak berbicara. Tetapi, ada kalanya Ibu harus ditenangkan dengan obat anti-depresan. Aku membuka les mata pelajaran di depan rumahku guna mengontrol pergerakan Ibu selama berada di rumah. Ketika Ibu mulai bisa berbicara menyebut namaku, makan secara mandiri, mandi tanpa paksaan, aku sangat senang.
“Ibu, mandi dulu yaa”
Ia menatapku. Tanpa menjawab, aku tahu ia sepakat
Aku menghitung hari dengan jemariku. 13 hari lagi adalah hari ulang tahun Ibu. aku berencana merayakannya sebagai perayaan atas kembalinya kemanusiaan Ibu meskipun tidak sempurna. Segala rencana sudah kuatur. Tidak apa jika sederhana, asalkan sebuah senyum asali bisa terbit dan mengembang pada bibir ringkihnya.
Harapanku pada Ibu pupus sudah. Aku masih ingat, Isnin pagi bulan Desember itu, Ibu tertidur, tersenyum, teronggok di atas tempat tidur dengan denyut nadi yang larung. Jantungku memompa hebat lagi, rasanya sama seperti beberapa bulan yang lalu. Jantungku pecah, terempas dan putus. Aku terluka dan tercerabut lagi! Ibu, maafkan aku!
Aku ceroboh dalam merawat kemanusiaanmu.
Ternyata benar, Desember terlalu kelabu, dingin dan jahat. Setiap desiran nada dan helaan nafasnya adalah elegi esok pagi. Ia membunuhku hangus, ia membakar jantungku dan pemiliknya, dan mendamparkanku ke dasar luka paling biru.
Ibu, hari-hari semakin berat tanpamu.
Gondangdia, 2010
Hujan menguarkan aroma nostalgia klasik pada setiap rinainya yang menyugar rambut dan wajahku. Tanpa Ibu, Bapak Juga tanpa bayangan hitam yang kerap kali bertandang menebarkan bulu kuduk yang merinding. Semua lenyap dan pincang. Bau tanah yang dulu kusuka, kini menjadi aroma yang mendidihkan pelupuk mataku.
Kejadian itu terjadi setahun yang lalu, rasanya masih sama, pula linu dan ngilunya. Lukanya belum sembuh, masih menganga dan bernanah.
Bapak, Ibu, Fidolia tidak memiliki kaki lagi
Sekarang aku harus berdiri, berjalan, dan berlari tanpa kaki