Elegi Bulan Desember

Lawwdc
1 Mei 2020 23:41
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

~It hurts, but it’s ok.

 I’m used to it~

Badung, 22 Desember 2018

Aku menutup jendela ruang depan rumahku secepat kilat. Jendela yang berbahan kayu dengan sedikit sentuhan motif dayak pada sisi atasnya mulai rapuh dirongrong rayap. Kugerakkan tanganku seraya mengatur sistem pernafasanku dalam satu putaran. Aku terbiasa untuk tidak memalingkan retinaku menerobos sekat pada kaca nako. Di luar gelap pekat, namun entahlah aku merasa sangat gundah.

            Kumatikan saklar lampu ruang tengah dengan cepat dan bergegas ke kamar untuk bergumul kembali dengan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), sarana pengusir kegagapan dalam kelas. Jam beputar lelah ketika waktu menunjukkan pukul 01 dini hari, tepat setelah aku membereskan kegiatan penutup untuk pembelajaran di kelas TK kecil.  Esok sabtu, seperti rutinitas sebelum tidur, aku berselancar ke dunia maya melalui gawai kesayanganku berlogo apel tergigit.

Netraku nyaris kehilangan degup ketika sebuah postingan teman kuliahku seolah menyapa.

Happy Mother’s Day to my one and only queen @Rina_64

“Ah ya, selamat hari ibu juga buat mama yang sering digilas sendu, ditabrak lara dan terhanyut” Aku membatin.

Detik berikutnya, aku dicakar, dibunuh, dan terbakar dalam gagu

Flashback

~You never know how important

something is until you almost lost it~

Badung, 2016

Sejak memutuskan untuk hidup mandiri seusai perayaan kelulusan S1, aku sibuk berlalu-lalang di tengah kota Badung sembari menenteng tas Anello hitamku yang  berisikan ijazah, surat lamaran kerja dan beberapa surat-surat penting lainnya. Alhasil, setelah dirundung kegalauan dan dilema, aku diterima di sebuah TK dengan standar internasional bersama murid-murid expatriate yang super duper menggemaskan.

“Halo Ma, obat kemarin mujarab gak?” Tanyaku sembari meletakkan asal kunci motor bebekku di meja rias.

Di Badung, aku hidup dan tinggal seatap bersama keluarga tante. Aku tidak diizinkan untuk over mandiri dengan menyewa sebuah kost atau kontrakan. Kata mama, mandirimu pun punya limit, bahkan limitnya semakin lebar ketika aku ber-LDR ria dengan mama yang di Medan.

“Lumayan kak, mama sudah agak mendingan. Hanya saja, sering kumat bila dingin.” Suara mama terdengar lemah di gawaiku.

Lha, mama gimana sih? Kalau tidur, mau dingin mau enggak, pake jaket atau sweater aja dulu. Mama kan lagi pemulihan.” Nada suaraku mulai bergetar karena khawatir. “Ntar malem, Hana mau negecek kondisi mama lagi. Jalannya hati-hati, jangan terlalu banyak gerak, terus itu kipas angin dimatiin kalau udah dingin atau suruh Kiko nemeni mama tidur. Oke?” tandasku sambil mendekatkan telingaku pada speaker gawai menunggu suara balasan dari mama.

“Iya ia. Hana mau ke sini lagi? Nggak usah kak. Nanti biar mama suruh Kak Ivon rujuk ke puskesmas aja.“ Kilah Mama

“Serius mama gak mau dicek lagi? Hana lebih tau kali Ma daripada bidan-bidan di puskesmas itu.”

Lah dulu mama juga sembuh karena obat dari mereka kok. Mama sudah sehat kok Kak. Eh, mama dengar dari tante, kamu jarang sarapan ya? Kualat loh kamu ini. Kamu tahu Mian, pedagang sayur yang suaminya preman itu, dia mati karena maagnya sudah tinggi? Mau nyusul kamu?”

“Maag akut ma, bukan tinggi.” Aku memperbaiki ucapan mama guna menghindari kemarahan berlapis yang mengalahkan lapisan lempeng bumi. “Yaudah, aku beres-beres dulu Ma. Anak-anak ada kegiatan mewarnai sore ini. Udah ya Ma, sehat-sehat.”

Tutt..

Sambungan teleponku dengan mama terputus. Di sela-sela waktu luang, aku rutin mendendangkan rindu pada mama meskipun singkat. Jarak 3000 KM kerap kali membentangkan renjana yang bertautan namun bungkam dalam ambisi. Mama yang sudah mengecap kasar hambarnya kota Medan selama 55 tahun, dan aku yang berjuang dalam ambisi masa depan di Kota Badung, Bali. Awalnya, mama bersikeras untuk mengekang keinginanku berkarir di tempat jauh. Katanya, nanti kalau mama capek, enggak ada yang bakal mijitin, atau siapin air hangat untuk mama ketika mandi. Atau teman ngopi kala senja menyetubuhi petang yang berarak.

~I just wish i could lose these hurt

 as fast as i lost you~

Badung, 02 Desember 2017

Aku keluar dari ruangan Miss Meri sambil melantunkan tembang “Lagu untukmu”. Setelah berjuang keras untuk merampungkan file siswa, dan kegigihan untuk meyakinkan Miss Meri dan pengurus yayasan, akhirnya aku diberikan kesempatan untuk cuti.

Jumat minggu depan adalah hari ulang tahun mama, aku berencana untuk memberikannya sedikit kejutan dengan kepulanganku. Meskipun sempat membohongi mama dengan beberapa bumbu penipuan, aku berharap kerinduan mama bisa terobati walau sebentar saja. Pasalnya setiap mama menanyakan cuti kerja, aku selalu menyangkal bahwa untuk semester ini aku tidak bisa pulang karena masih banyak urusan dengan dinas pendidikan kota.

“Kak, ini kamu enggak hitung bulan apa? Kalender yang dipake di Bali sama kan dengan yang di Medan? Udah setahun loh kamu enggak pulang Medan.”

“Sibuk banget Ma. Banyak siswa yang lulus tahun ini.”

“Oh gitu. Jadi kamu enggak kangen rumah?”

“Ah, paling juga mama yang rindu. Jangan rindu ma, mama enggak bakal kuat, biar Dilan aja.” Candaku sambil tertawa

“Delan siapa? Anaknya guru SMAmu itu?”

“Tau ah gelap.”

~In hopes you’re on the other side, talking to me too

or am i a fool who sits alone~

-Bruno Mars-

Badung, 08 Desember 2018.

Aku meraba-raba sekeliling tempat tidurku untuk mencari gawai yang berbunyi semakin keras. Aku menyipitkan mataku melihat subjek alarm yang tertera anggun, ah sekarang ia makin tua. Selamat ulang tahun Ma, semoga tahun seterusnya aku akan bertemu dengan kedua bola matamu yang berpendar dan tidak pernah redup dimakan usia.

Sepanjang hari, aku berusaha untuk tidak menghubungi mama untuk sekadar mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Rencana ini sudah aku rancang secara detil sejak sebulan yang lalu. Aku ingin menjadi orang yang terakhir menyelamati sambil merengkuh tubuh ringkihnya. Gawaiku berdering menandakan adanya panggilan video masuk dari Kak Ivon, iparku.

“Vina, dari tadi mama murung terus sambil nanya ke kakak, Lavina titip pesan ke kamu gak, biasanya dia orang pertama yang selalu ngucapin.” Jelas Kak Ivon.

“Hahaha. Kan udah aku bilang, Mama tuh yang kangen. Terus, terus kakak jawab apa?”

“Kakak bilang, kamu gak ada nitip apa-apa. Eh eh gimana besok, take off nya jam berapaan? Hati-hati loh, kamu udah beli antimo gak?” Tanya Mbak Ivon terkekeh. Rencana kepulanganku ke Medan sebelumnya sudah kusampaikan kepada Kak Ivon dan suaminya. Alhasil, mereka setuju dan berencana untuk ikut-ikutan berakting tidak tahu menahu mengenai apapun.

“Eh mama, jangan masuk dulu!” Suara Mbak Ivon tiba-tiba terbata-bata.

“Kakak udah makan? Jaga diri kam..” Pesan mama dengan suara terputus. Gawai Kak Ivon sudah direbut cepat oleh mama.

Seakan tahu siapa yang datang, dengan cepat kilat aku menekan tombol berwarna merah untuk mengakhiri komunikasi kami. Aku tertawa cekikikan, ternyata selain smart, aku pintar juga ngusilin Mama. Sorry ya Ma, besok bakal ketemu kok.

Setelah selesai meneguk segelas air mineral untuk meloloskan sebutir antimo pada kerongkongan, aku sibuk mengotak-atik laptop kesayanganku sejak zaman bahela untuk memilih beberapa foto mama yang akan disatukan dalam sebuah kolase.

Tetiba, kursor menuntunku memutar sebuah film berjudul wedding dress. Aku penasaran, lantas mengikuti dan tenggelam bersama alur film yang ternyata berlatar Korea itu. Seketika, perasaanku tidak nyaman, aku merasa gundah dan takut. Sebuah adegan film antara seorang ibu dan anak yang menekan kerinduanku untuk bertemu mama segera.

~I know you’re some where out there

Some where far away~

-Bruno Mars-

Medan, 11 Desember 2018

Pesawat yang kutumpangi selama 2 jam sudah hampir landing sempurna pada lintasan Kualanamu International Airport. Aku mengaktifkan gawaiku yang berhibernasi terlalu lama. Degup jantungku bereaksi sangat cepat melihat banyaknya notifikasi masuk ke gawaiku, dan missed call ke aplikasi WhatsApp. Seperti disambar petir di siang bolong, wanita yang mencintaiku dan berjanji akan menunggu kepulanganku, pergi tanpa pamit. Mama tewas diserempet mobil penampung bensin dan tergilas tanpa sisa.

Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan ketelanjangan. “Ma, mama belum boleh pergi. Mama gak sayang sama Lavina, mama belum niup lilin!!!!”

Ternyata benar, Desember terlalu kelabu, dingin dan jahat. Setiap desiran nada dan helaan nafasnya adalah elegi esok pagi. Ia membunuhku hangus, ia membakar jantungku dan pemiliknya, dan mendamparkanku ke dasar luka paling biru.

Kejadian itu terjadi setahun yang lalu, rasanya masih sama, pula linu dan ngilunya. Lukanya belum sembuh, masih menganga dan bernanah. Aku ceroboh ma, seharusnya aku pintar membaca situasi. Kalimat kerinduanmu yang terdengar bias rutin menggerogotiku setiap saat. Izinkan aku mendekap jiwamu dalam kolase mungil ini Ma.

Happy Mother’s Day Ma. Esok dan seterusnya, Aku masih setia dengan elegi yang sama. Suara Jangkrik yang meninabobokan airmataku terdengar teduh pada dini hari. Ia bersenandung dalam ketaksaan nada bersama burung hantu yang lupa lirik.  


  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •