Nasib Pendidikan Indonesia di balik Kebijakan Pemindahan Ibukota

Lawwdc
1 Mei 2020 23:34
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

PENDAHULUAN

  •  Latar Belakang

16 Agustus 2019 merupakan sebuah momentum yang bersejarah dalam histori Indonesia. Wacana pemindahan ibukota negara mulai diluncurkan lagi pada pertengahan tahun 2017 lalu oleh presiden RI, Joko Widodo. Gagasan ini menuai banyak pro kontra dalam kalangan masyarakat baik perkotaan hingga pelosok.  Ada yang mempertanyakan urgensi pemindahan ibu kota juga budgeting yang akan digelontorkan guna pendanaan proyek hingga pihak akademisi dan media yang turut membahas wacana tersebut. Dilansir dari media lokal sebut saja CNBC Indonesia, Kompas, Tempo, BBC menyatakan bahwa Jakarta bukan lagi rumah yang layak huni untuk pusat pemerintahan dan pusat industri negara. Kemacetan, banjir, sanitasi yang buruk, premanisme, kepadatan penduduk hingga isu terorisme dan radikalisme menjadi alasan utama pemindahan ibu kota. Jakarta 2020 tidak sama dengan wajah Jakarta 30 tahun silam. Semuanya berubah dan saling tumpang tindih.

Dilansir dari Kompas.com, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menyatakan bahwa pemindahan ibukota harus dikaji dengn baik dari segala aspek dalam kehidupan bernegara. Jika tidak, maka gagasan ini dapat memicu opini pro-kontra dari berbagai pihak. Sehingga, menurutnya pemerintah seyogyanya tidak perlu terburu-buru dalam merealisasikan kebijakan ini. Selaras dengan pernyataan Enny, Pengamat tata Kota,  Nirwono Joga dalam Ekonomi.bisnis.com, mengatakan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa dengan ‘tugas pembangunan’ yang belum selesai di Jakarta. Menurutnya, masih banyak pekerjaan yang terabaikan di dapur pembangunan Indonesia. Misalnya jalan tol yang terdapat di DKI Jakarta. Selain itu, biaya administrasi pembangunan ibukota baru yang mengusung konsep “Smart, green, adn beautiful city  ini juga memakan hingga Rp.446 Trilyun. Tentunya, biaya sebesar ini bukanlah biaya yang kecil, dan bukan biaya yang terlalu besar untuk pembangunan ibukota baru dalam sebuah negara. Untuk mengejawantahakannya, gagasan yang berskala global ini harus dikaji secara menyeluruh, bukan parsial. Setiap aspek dalam negara harus dijadikan pertimbangan untuk mewujudkan gagasan ini

Di sisi lain, pemindahan ibukota dapat berdampak sangat positif pada ranah pendidikan. Sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yang dikumandangkan oleh founding fathers dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita kemerdekaan tersebut dirumuskan juga dalam tujuan pendidikan nasional, Pasal 31, ayat (3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Menurut Muhadjir Effendy, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pemindahan ibukota dapat digunakan oleh seluruh stakeholder pendidikan untuk mengembangkan kualitas pendidikan Indonesia baik secara fisik (infrastruktur, sarana prasarana) maupun akademik. Selain itu, pemerintah pun dapat menjangkau daerah yang termasuk dalam wilayah terluar, tertinggal, terdepan (3T).

74 tahun Indonesia merdeka, namun pada kenyataannya dunia pendidikan Indonesia belum merdeka secara holistis. Sekolah dari daerah-daerah di luar Jawa mengalami kesenjangan atau gap yang cukup lebar dengan sekolah Jawa dari segi kualitas dan kuantitas pendidikan. Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa tujuan pendidikan nasional belum dikecap oleh beberapa daerah di Indonesia atau dengan kata lain tujuan tersebut belum tercapai sampai saat ini.  Pemindahan ibukota merupakan kabar baik untuk peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara nasional serta sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan cita-cita founding fathers.

  •  Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui aspek-aspek yang menjadi bahan perbandingan antara pendidikan di daerah Jawa dan luar Jawa
  2. Untuk mengetahui kondisi pendidikan di daerah luar Jawa

PEMBAHASAN

Bagi sebagian orang, pemindahan ibukota hanyalah sekadar jualan wacana saja. Hal ini memang masuk akal pasalnya dari masa orde lama hingga reformasi, gagasan pemindahan ibukota bukanlah sesuatu yang mutkhir dalam dunia perpolitikan Indonesia. Misalnya, Presiden Soekarno yang awal tahun 1950 menggagas pemindahan ibukota dari Jakarta (dulu bernama Batavia) ke Palangkaraya. Wacana tersebut kembali digulirkan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Perbedaannya adalah Jokowi tampaknya sangat serius dengan pemindahan ibukota ini misalnya mengadakan tinjauan langsung ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain itu, menteri Kabinet Indonesia Kerja pun menunjukkan keseriusan yang sama dalam mendukung terlaksananya gagasan besar ini. Sejalan dengan itu, ranah pendidikan bukanlah badan yang berdiri secara independen, namun saling berkaitan dengan badan yang lain, misalnya kemenag, kemenristek Dikti, kemenkominfo, dan kemenpupr.

            Pemilihan salah dua kabupaten yang terdapat di provinsi Kalimantan Timur adalah pilihan yang tepat untuk mencegah terjadinya Jawasentris dalam dunia pendidikan baik SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi baik dari segi infrastruktur, sekolah, sarana prasarana, aksesibilitas, jumlah pendidik dan telekomunikasi. Pemerataan ini diharapkan mampu mendobrak dan menunjang tercapainya keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote.

Bila ditelisik dari kacamata geografis, Kalimantan merupakan titik tengah yang menghubungkan semua daerah di Indonesia. Sehingga, dengan lokasi yang membelah daerah bagian Barat dan Timur ini, Kalimantan mampu menjadi jawaban lambannya pendidikan Indonesia 74 tahun terakhir ini.

            Pendidikan merupakan senjata yang mampu menghadang kemiskinan dan membunuh kebodohan. Indonesia tidak bisa menutup mata dengan realita yang terjadi di lapangan seiring dengan bertambahnya umur Indonesia. Jawasentris menjadi tolok ukur yang bersifat esensial bahwa pendidikan Indonesia hanya berfokus pada ketercapaian kualitas pendidikan di daerah bagian Jawa saja, sedangkan daerah di luar Jawa atau wilayah 3T harus merangkak dan pincang untuk mendapatkan sesuap pengetahuan dari sekolah. Hal ini memang sangat riskan jika keadaan dibiarkan tergeletak seperti masa-masa pemerintahan sebelumnya. Hemat saya, adanya pemberontakan di beberapa daerah terutama bagian Timur Indonesia merupakan suara yang awalnya dibungkam terus menerus akan ketidakadilan dan represi hak warga negara. Selain pendidikan, masyarakat luar Jawa pun mengalami keterbelakangan dalam bidang ekonomi, infrastruktur, politik, sosial, dan pariwisata. Jawaban yang mangkus adalah pemindahan ibukota yang dapat membawa transformasi untuk semua masyarakat.             

Berikut tiga aspek yang dapat mengkomparasikan pendidikan di daerah Jawa dan daerah non Jawa

  •  Jumlah guru

              Dapodik 2019 menunjukkan bahwa jumlah guru terbanyak terdapat di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah berturut-turut adalah 377.678, 338.786, dan 300.185, sedangkan jumlah guru terendah terdapat di provinsi Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Utara. Jika dibandingkan dengan luas wilayah Kalimantan Utara sebagai provinsi dengan jumlah guru paling sedikit, yakni 9.811 orang dan Jawa Barat dengan sebagai pemegang rekor tertinggi dengan jumlah guru paling banyak, maka Jawa Barat kalah telak dengan luas wilayah yang hanya separuh dari Kalimantan Utara yakni, 35.377,76 km2, sedangkan Kalimantan Utara memiliki luas sebesar 75.467,70 km2.

            Data tersebut secara jelas menunjukkan betapa lebarnya jurang pemisah antara pendidikan daerah Jawa dan luar Jawa. Meskipun tidak secara gamblang disebutkan, namun jika dianalisis hasilnya adalah: jika daerah Jawa memiliki rerata guru tertinggi di antara daerah di Indonesia, maka logikanya adalah jumlah sekolah dan peminat pendidikan/ siswa/murid berkali lipat lebih banyak dari pada daerah luar Jawa. Selain itu, jumlah penduduk di daerah jawa juga lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Hal ini juga dipengaruhi oleh lokasi ibukota yang berada di daerah Jawa, sehingga masyarakat dari seluruh penjuru beramai-ramai mengadu nasib ke Jawa. Hadirnya terobosan pemindahan ibukota menjadi solusi paling mujarab untuk memeratakan jumlah penduduk setiap daerah, yang selanjutnya akan difungsikan untuk pemerataan pendidikan.  

            Jumlah guru di berbagai daerah luar Jawa ini juga sangat memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia secara signifikan. Misalnya, dilansir dari beritatagar.id, di daerah Papua terdapat Sekolah Menengah Kejuruan yang diajar oleh satu atau dua guru saja. Miris sekali. Dengan kondisi seperti ini, muskil sekali untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Coba kita pikir bersama, seorang guru memiliki tantangan pribadi, misalnya lelah dengan segala administrasi sekolah, materi, serta kehidupan di luar sekolah yang berdampak pada konsentrasi atau kesiapan seorang guru untuk menjalankan misi pendidikan.

  • Aspek Fisik

Percaya atau tidak, ada beberapa sekolah yang terdapat di daerah Sumatera atau Papua yang bangunannya tidak layak disebut sekolah. Misalnya, tidak adanya papan tulis, meja, kursi, buku paket, bahkan tidak berdinding. Sebut saja, SMPN 4 Olindrawa di daerah Nias. Fasilitas sederhana seperti ini seyogyanya harus diusahakan oleh pemerintah untuk mencapai terciptanya pendidikan yang mencerdaskan. Aspek fisik ini sangat mengambil peran penting dalam keberlangsungan proses belajar mengajar antar guru dan siswa. Sebagai contoh, buku paket berfungsi untuk membantu siswa memahami konsep yang diajarkan oleh guru dalam KBM (kegiatan belajar mengajar), juga sebagai panduan siswa untuk menambah pengetahuan. Buku paket menawarkan siswa berbagai hal guna tercapainya Kompetensi Dasar mata pelajaran tertentu. Contoh lain adalah papan tulis. Di daerah pelosok atau 3T terdapat sekolah yang hanya mengandalkan ceramah guru untuk belajar tanpa adanya alat yang digunakan untuk memvisualisasikan materi. Papan tulis membantu guru untuk menjelaskan materi dengan mudah dan jelas, juga menolong siswa untuk memahami penjelasan dari guru. Dalam sekolah, siswa memiliki berbagai tipe belajar. Salah satunya adalah visual. Siswa cenderung mengerti materi pembelajaran jika dijelaskan dengan menggunakan gambar atau hal yang bisa dinikmati oleh mata. Lalu bagaimana siswa bisa memahami materi jika fasilitas yang mereka nikmati pun tidak ada? Bagaimana dengan tujuan pendidikan yang sering digaungkan oleh stakeholder pendidikan jika kenyataan berbicara sangat berbeda dengan ekspektasi?

Selain itu, fasilitas lain misalnya perpustakaan, laboratorium, ruang kelas yang nyaman pun tidak ketinggalan untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional. Bukan tidak mungkin untuk melakuka perubahan dan kemerdekaan belajar. Namun, semuanya kembali lagi pada keseriusan setiap pihak dalam mengelola aset negara yang memang ditunjukkan untuk semua daerah di Indonesia.

Sarana prasarana juga turut andil dalam menyukseskan pemerataan pendidikan. Misalnya, di salah satu daerah Papua, yakni Mamit merupakan daerah yang memiliki medan yang sulit dan berbahaya. Guru dan siswa harus menuruni tanjakan dan mendaki pegunungan yang berbatu untuk bisa belajar. Medan yang cukup sulit ini memang menguras tenaga dan daya siswa sebelum siap untuk “bertarung” demi pendidikan. Minimnya pembangunan di daerah Timur ini pun berdampak signifikan bagi resiliensi siswa dalam menempuh pendidikan.  

Perlunya kebijakan afirmatif yang holistis dalam memahami dan mendukung pendidikan Indonesia. Pendidikan terlalu kompleks untuk dicerna. Gambaran di atas hanya bagian paling mikroskopis dalam wajah pendidikan Indonesia. Siswa memiliki semangat yang berapi-api namun sering sekali dipukul kalah oleh keadaan yang terlalu senjang antara daerah lain, Jawa misalnya.

  • Aspek Akademik

Segala ketimpangan tersebut tidak dapat dielakkan dampaknya terhadap akademik siswa. PISA 2012 (Program for International Student Assessment) atau penilaian akademik berskala internasional yang mengukur kemampuan siswa menunjukkan peringkat siswa Indonesia yang berada pada tingkat 64 dari 65 negara peserta. Hal ini sangat jelas menampar wajah dunia pendidikan Indonesia. Siswa peserta PISA yang ikut serta dalam penilaian ini hanya berasal dari daerah bagian tengah Indonesia saja. Jika siswa yang memiliki kecukupan materi belajar, ketersediaan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang baik menempati peringkat tersebut, lalu apa kabar daerah luar Jawa yang memiliki perbedaan signifikan dengan daerah Jawa?

Contoh lain, Program Pelajar Pelopor Keselamatan 2011 (PPK) Transportasi Darat yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Keselamatan Transportasi Darat, Kementerian Perhubungan yang selalu dimenangkan oleh siswa dari daerah Jawa saja. PPK adalah lomba atau kompetisi yang diikuti oleh siswa SMA/SMK secara nasional. Faktanya, provinsi Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat tidak pernah mengirim perwakilannya. Entah karena ketebatasan informasi atau keterbatasan anggaran, namun hal ini menunjukkan bahwa siswa daerah luar Jawa khususnya bagian Timur muskil untuk bersaing di kancah nasional karena dibatasi oleh regional dan tidak meratanya perkembangan dalam dunia pendidikan. Hal ini semakin membawa Indonesia menjauhi tujuan pendidikan nasional yang dicanangkan dalam UUD 1945.

KESIMPULAN

Pemindahan ibukota merupakan jawaban paling mangkus dan mujarab untuk mencapai cita-cita bangsa dalam berbagai aspek, termasuk pendidikan. Wajah pendidikan Indonesia yang selama ini bobrok dan sering heboh dengan fenomena menjadi kunci ketertinggalan Indonesia dalam ranah pendidikan. Selama 74 tahun, pendidikan terlalu berfokus dengan pembangunan, pemerataan, dan peningkatan mutu daerah Jawa saja atau pendidikan bersifat jawasentris. Ada 3 aspek yang menjadi bahan untuk melimitasi perbandingan antara mutu pendidikan daerah Jawa dan luar Jawa, yakni jumlah guru, fisik, dan akademik. Ketiganya menunjukkan perbedaan signifikan antara pendidikan daerah Jawa dan luar Jawa. Jawasentris mengakibatkan bangsa Indonesia lambat laun menjauhi tujuan pendidikan nasional yang dicantumkan dalam UUD 1945 dan cita cita founding fathers melalui pembukaan UUD 1945. Dengan adanya pemindahan ibukota, kualitas dan kuantitas pendidikan Indonesia dapat diperbaiki, ditingkatkan, dan merata sehingga kemerdekaan belajar dapat dikecap oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, pendidikan juga perlu jadi perhatian utama pemerintah dan semua stakeholder non pendidikan maupun pendidikan untuk bersama-sama menciptakan pendidikan Indonesia yang ramah, sistematis, dan merdeka.

DAFTAR PUSTAKA

https://nasional.kompas.com/read/2019/08/07/14511241/belum-matang-ahli-sebut-isu-pindah-ibu-kota-justru-mengundang-polemik?page=all.https://ekonomi.bisnis.com/read/20190822/45/1139883/ini-kata-pengamat-berkaitan-dengan-pemindahan-ibu-kota-negara
https://beritagar.id/artikel/telatah/kesenjangan-kualitas-pendidikan-jawa-luar-jawa
https://finance.detik.com/properti/d-4669135/pindah-ibu-kota-digagas-era-bung-karno-dieksekusi-jokowi
https://www.google.com/search?q=Gambar+toga&tbm=isch&ved=2ahUKEwid5NCki-jnAhUe1XMBHd5gD3IQ2-

  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •