PENDIDIKAN KARAKTER ADALAH INVESTASI MASA DEPAN
Tingginya angka partisipatif golongan putih pada pemilihan umum, meledaknya kenakalan ‘orang tua dalam bidang pemerintahan, korupsi misalnya, melonjaknya kurva aborsi di berbagai daerah di Indonesia, beragam kasus kekerasan terhadap masyarakat merupakan wajah bobrok atmosfir Tanah air saat ini. Tidak sedang mendiskreditkan ranah lain, namun pendidikan mengambil banyak peran dalam menangani segelintir kasus di atas. Pendidikan adalah aset penting. Pendidikan juga tidak bersifat tendensius. Ia menjamin dirinya bisa dinikmati oleh semua kalangan. Oleh karena itu, menyangkal nilai-nilai penting dalam pendidikan bermakna mendistorsi masa depan. Buah didik dari pendidikan kelak akan menjadi individu yang mengorganisasi dan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan, baik dalam ranah kecil seperti keluarga, maupun dalam ruang lingkup global. Mengecap pendidikan adalah sedang menginvestasi masa depan. Semua nilai yang diinternalisasi selama menduduki bangku pendidikan akan menjadi sanda dan pesangon dalam menjalani kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berkomunitas, bahkan bernegara. Di Indonesia, salah satu usaha untuk memperlengkapi afektif peserta didik adalah dengan penerapan pendidikan karakter dalam kurikulum 2013. Kurikulum yang diluncurkan pada Juli tahun 2013 ini membawa nuansa baru dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai utama yang tercantum dalam pendidikan karakter, yakni religius, nasionalis, mandiri, integritas, dan gotong royong. Nyatanya, pendidikan karakter ini saling tumpang tindih dengan realita yang terjadi di dalam dan luar sekolah. Sebut saja, kasus persekusi yang dilakukan oleh peserta didik terhadap guru honorer di Gresik pada tahun 2019, atau aborsi yang melibatkan siswi SMP di Badung pada tahun 2020, secara implisit menegaskan bahwa pendidikan karakter yang terdapat pada buku cetak tidak manjur untuk mengajari kehidupan. Seolah-olah, pendidikan dan kehidupan nyata tidak memliki benang merah, tidak memiliki hubungan kausalitas. Keduanya saling berdiri sendiri dan mengajarkan teori truismenya masing-masing.
Esensi pendidikan karakter memang amat baik. Yang keliru adalah pengejawantahannya. Tolok ukur dari keberhasilan pendidikan yang dicanangkan tersebut merujuk pada sekolah. Parameternya adalah guru, siswa, dan semua stakeholder pendidikan. Pembentukan karakter peserta didik muskil terjadi karena satu aspek saja yang praktiknya lebih teoritis. Memang benar, pendidikan berurusan dengan aspek kognitif, afektif, psikomotor bahkan spiritual peserta didik. Namun, pemetaan dari setiap aspek ini bercabang-cabang bahkan sangat luas. Pendidikan karakter seyogyanya ditopang oleh pendidikan lain untuk membuat sesuatu yang bersifat teoritis lebih konkret. Salah satunya dengan penambahan jenis pendidikan lain yang dipayungi oleh pendidikan karakter, misalnya pendidikan demokrasi, pendidikan seks, dan resiliensi pendidikan. Ketiga jenis pendidikan di atas bermuara pada perbaikan atau pembentukan karakter peserta didik secara menyeluruh. Bahkan, ketiganya sangat realistis dengan kehidupan peserta didik sebagai manusia yang berkembang biak, manusia yang bersosial, dan manusia yang bernegara. Dengan adanya pendidikan seks, memberi ruang kepada perempuan dan laki-laki menghargai satu sama lain, memahami benar kinerja sistem reproduksinya, lebih lanjut bahkan mampu menekan angka seks pranikah di kalangan peserta didik. Survei yang diselenggarakan oleh KPAI dan Kemenkes menunjukkan bahwa 62,7% remaja Indonesia telah melakukan seks pranikah per tahun 2013. Angka di atas cukup besar untuk sebuah negara yang menginternalisasi budaya ketimuran. Sangat miris. Pemahaman akan seks yang benar berdampak pada menurunnya angka pernikahan dini, aborsi, seks bebas, dan KDRT. Secara simultan, pendidikan seks berdampak pada perbaikan karakter peserta didik.
Sebagai masyarakat penganut paham demokrasi, maka tidaklah aneh jika pendidikan demokrasi perlu dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran. Dengan pemahaman yang benar, maka peserta didik mampu menghayati, mengamalkan perannya sebagai warga negara. Pendidikan ini dapat diajarkan secara bersamaan dengan pendidikan Kewarganegaraan di tingkat SD, SMP, SMA bahkan Perguruan tinggi. Pendidikan demokrasi mampu menyetir peserta didik untuk mengetahi haknya sebagai warga negara, memantau kebijakan pemerintah, dan turut andil dalam menyukseskan program pemerintah. Dampak gobalnya adalah peserta didik mampu mencintai Indonesia, berjuang untuk kesejahteraan Indonesia, bahkan menumbuhkembangkan patriotisme seseorang. Lebih daripada itu, CNN Indonesia menyatakan bahwa 40% kaum milenial berada pada pihak golongan putih. Angka yang cukup tinggi mengingat betapa luasnya akses bagi kaum milenial untuk berpartispasi dalam pemerintahan. Dengan memiliki pengetahuan demokrasi yang mumpuni, maka peserta didik kelak mampu berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Lagi, pendidikan demokrasi bermuara pada karakter peserta didik.
Terakhir, resiliensi pendidikan yang berbicara lebih banyak mengenai kemampun peserta didik secara pribadi untuk beradaptasi dan berdiri teguh dalam keadaan sulit. Menurut Reivich dan Shatté dalam (Wikipedia.org), kemampuan resiliensi mencakup regulasi emosi, pengendalian stimulus, sikap optimis, empati, analisis penyebab konflik, efikasi diri, dan peningkatan aspek diri yang positif. Jenis pendidikan ini mengerucut kepada kemampuan peserta didik menghadapi hidup dan permasalahannya. Dengan adanya resiliensi individu, maka peserta didik mampu mengembangkan kemampuan beradaptasi, kecakapan mengembangkan bakat, tidak rentan terhadap perundungan (bullying), menjadi pribadi yang solutif, dan visioner. Untuk lebih konkretnya, resiliensi pendidikan membuat peserta didik bertahan dalam kondisi yang mengintervensi. Masih melekat betul di benak saya, ketika Nadila, siswa SMP 147 Cikarang mengakiri hidupnya secara tragis. Parahnya lagi, aksi tersebut dilakukan di lingkungan sekolah yang seyogyanya bisa dipantau oleh guru atau teman-temannya. Dengan menghadirkan resiliensi pendidikan dalam kurikulum, maka angka bunuh diri dapat ditekan. Peserta didik yang dilengkapi dengan resiliensi pendidikan mampu menjadi peserta didik yang tahu betul mengenai identitas dan keberhargaannya sebagai manusia yang istimewa.
Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat belajar, bermain, berkompetisi serta bertumbuh dalam energi dan emosi positif. Pendidikan seyogyanya menjadi tempat yang asyik dan menyenangkan serta menempa setiap inidividu menjadi lebih baik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, psikomotor, dan spiritual peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan harus dilakukan secara total untuk menghasilkan produk yang total pula. Pendidikan karakter haruslah disokong oleh hadirnya pendidikan seks, adanya pendidikan demokrasi, dan terlaksananya resiliensi pendidikan secara utuh yang dicantumkan dalam kurikulum pembelajaran. Sebab, pendidikan adalah investasi generasi masa depan. Masa depan ditentukan oleh kualitas pengimplementasian pndidikan terhadap peserta didik. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, tidak hanya dibebankan kepada sekolah, namun lingkungan sosialisasi seperti rumah dan tempat ibadah seharusnya turut andil dalam penentuan kualitas pendidikan individu.