Yatim yang Yatim Piatu
Sejak naik kelas 2 SMA, aku bertingkah aneh, dan aku sendiri mengakui kepribadianku yang amburadul dan berperangai buruk. Di rumah, di media sosial, di sekolah, di gereja bahkan di tempat kursus, tingkahku berbeda-beda. Kadang seperti malaikat, atau iblis. Tidak kutahu pasti, namun keinginanku untuk hidup bebas mulai liar sejak saat itu. Rumah yang dari dulu membawa beban dalam dadaku tidak kunjung padam juga. Sekolah yang hobi mendoktrin dengan bukti yang berseberangan juga turut andil membawa penyakit dalam keremajaanku, atau media sosial yang sibuk memajang postingan tiap individu yang terbelit dengan masalah finance, sosial, asmara bahkan drama dan polemik keluarga juga ikut-ikutan menggoresi linimasa media sosialku. Setiap orang menyumbang setiap masalah yang membuatku kadang ingin gila, namun masih waras.
Bel pulang sekolah berdering riang yang disusul dengan teriakan dan suara gaduh siswa di setiap ruangan. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku menyibukkan diriku dengan bertandang ke perpustakaan sekolah sembari melihat atmosfir ruangan perpus yang sepi. Seperti biasa, aku selalu setia dengan backpack hitamku setiap ingin menyusuri rak-rak buku mata pelajaran. Dengan modal keberanian, aku menyusupkan beberapa buah kliping, proposal ataupun novel dalam backpack sambil menyiasati keseragaman pergerakan tangan dan bola mataku yang tidak terlalu indah. Setelah merasa kondusif, aku akan melangkahkan kakiku meninggalkan perpustakaan dengan segumpal rasa takut namun puas. Buku-buku tersebut akan kutaruh ke dalam sebuah brankas di pojok kamarku. Buku yang menggunung tersebut akan berdebam bila dikenai lebih banyak buku lagi, dan berdebu lalu kusam dengan bentuk perawan.
“Kenapa baru pulang Nogu?”
“Ada kerja kelompok Ina.”
“Makanlah.
Dengan kaki telanjang dan terseok-seok, aku menyusuri halaman belakang rumahku. Semakin masuk ke dalam, semakin gelap. Kelam, dan hitam pekat. Aku meraba-raba sekelilingku. Kosong, hampa.
Lalu kurasakan sebuah tangan membekap mulutku. Nafasku tercekik, mataku memanas. Jantungku berdenyut lunglai. Aku sempat mengelak dari gerakan tangannya yang semakin beringas melalapi bagian wajahku. Ia tetap kuat. Tubuhnya besar dan kaku. Lalu tubuhku dikeroyok lagi dengan puas hingga kurasakan bagian jantungku disesaki sebuah benda runcing. Beberapa detik kemudian aku merasakan jiwaku diboyong oleh ruh lain. Aku menegang, kugenggam erat jari jemarinya yang tidak utuh.
Ina, kita terlalu malang!!