The Guardian : Healing Inside You ~ Eps. 4 : Rahasia Raihanah
Achmad Albar bilang, dunia ini adalah panggung sandiwara. Maka setiap tempat di dunia ini bisa saja menjadi panggung sandiwara, termasuk di IIMS, dan di setiap panggung sandiwara akan selalu ada seseorang atau sekumpulan orang yang menjadi sorotan utama dalam sandiwara tersebut. Aku jadi teringat dengan percakapanku dengan Raniah saat liburan kemarin, ketika Raniah mengingatkanku kembali tentang daftar orang-orang yang harus kuhindari yang pernah dibuatkan Raniah saat tahun pertama kami di IIMS. Orang pertama dan merupakan pemimpin dalam sekumpulan tersebut, ialah Rayyan Athalla Zaky. Seorang anak laki-laki yang tumbuh sebagai seorang anak piatu. Sejak kepergian ibunya yang menjadi korban dalam kebakaran di rumah sakit, Rayyan mengarungi pahit dan getirnya kehidupan bersama ayahnya yang ambisius. Namun, hal itulah yang menjadikan Ayah Rayyan mampu mencetak berbagai prestasi dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya hingga kini keluarga Rayyan memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar di Indonesia. Maka dari itu, tak heran jika sifat ambisius itu, kini ikut mengalir dalam tubuh Rayyan dan membuatnya dijuluki sebagai ‘Orang Paling Berpengaruh’ di IIMS. Tentu saja karena sejak kedatangannya ke sekolah ini, diakui oleh warga sekolah, banyak hal baru yang terjadi dan bermunculan dalam sepanjang sejarah IIMS yang bertolakan dengan kebijakan-kebijakan sekolah yang ditetapkan oleh Yayasan Al’Abid. Dari mulai hadirnya musik di tengah-tengah lingkungan IIMS, tradisi ‘Welcoming Performance’ untuk penyambutan peserta didik baru, sampai pertama kalinya dalam sejarah OSIS IIMS memiliki ketua yang menjabat selama dua periode berturut.
Orang bijak bilang, di setiap kesuksesan seorang lelaki pasti terdapat wanita hebat yang bekerja keras di belakangnya. Kutipan itulah yang mendefinisikan dua gadis berbakat dalam kelompok Rayyan sekaligus pendukung utama grup musik yang dibentuk Rayyan. Keduanya ialah Hana Krasiva Mahfuzhah yang selalu bersemangat untuk menumpahkan ide-ide kreatifnya yang seperti tak ada habisnya untuk mendesain outfit yang selalu memukau, dan juga teman baiknya, Almeera Kekira Fairuz yang tak kalah antusias untuk mengilustrasikan imajinasinya dalam setiap video penampilan grup musik ciptaan Rayyan yang kini semakin banyak penggemarnya di kanal youtube mereka. Selanjutnya adalah sepasang sejoli pemain basket andalan IIMS dengan proporsi tubuh yang tinggi dan berotot, layaknya atlet profesional, Izzudin Hasbi Al Ghani dan Ghazi Asyraf Al Fattah. Banyak siswa IIMS mengira bahwa solidaritas antara keduanya terbentuk, sejak Rayyan dan ambisinya mampu mengekspos kemampuan bermusik dan merekrut keduanya untuk bergabung dengan grup musiknya. Namun, sebenarnya persahabatan antara keduanya telah terjalin sejak Ghazi mendukung habis-habisan penunjukan Hasbi menjadi kapten basket IIMS di tahun pertamanya.
Ada satu orang terakhir dalam kelompok mereka dalam daftar Raniah, tapi sepertinya dia mendapatkan pengecualian sebagai orang yang harus kuhindari. Karena sejujurnya, tidak semua orang dalam kelompok tersebut bersatu karena gagasan grup musik yang Rayyan ciptakan. Althaf Ghaissani Dzakwan adalah satu-satunya orang yang tidak menyukai dan tidak terlalu mempedulikan tentang musik dalam kelompok pertemanan mereka. Rayyan adalah alasannya berada dalam kelompok tersebut. Althaf adalah tetangga sekaligus sahabat Rayyan sejak masa kanak-kanak mereka. Sama seperti Rayyan, Althaf juga tumbuh menjadi remaja yang penuh akan ambisi, hanya saja, orientasi mereka berbeda. Ambisi Althaf berorientasi pada pengetahuan tentang agamanya, keimanannya, juga keyakinannya akan hari pembalasan. Itulah yang menjadikannya dipercayai oleh warga IIMS untuk menduduki posisi Ketua Rohis selama dua periode.
“Saphire!” Suara seruan Raniah memotong interaksiku dengan Syauqi dan serempak mengalihkan perhatian kami untuk menengok kepada seorang murid Perempuan dengan seragam IIMS yang sedang tergopoh berlarian menuruni tangga masjid Al-Muhajirin menghampiriku sambil membawa tas berisi mukena dan sajadah kecilnya.
“Alhamdulillah, akhirnya bebeb gua dateng juga!” Seru Syauqi tersenyum lega menyambut kedatangan teman wanitanya yang sering diakui sebagai partnernya dalam menjalankan Amanah Bang Ahwaz untuk menjagaku tanpa memedulikan situasi genting yang tergambar di wajah Raniah.
“Terserah kamu deh, Qi! Aku lagi enggak berniat ngeladenin kamu sekarang!” Balas Raniah dengan terengah-engah sambil melambaikan tangan kanannya di depan Syauqi dengan lemas.
“Bukan modus ini gua beb, beneran! Coba tolong cekin itu anak kita, tadi tiba-tiba megangin dada sambil lemes gitu suaranya. Gua takutnya dia sakit!” Syauqi memberi penjelasan atas respon Raniah yang salah memahami maksud kalimat bahagianya ketika Raniah datang tadi. Walaupun Syauqi terkenal garang oleh warga sekolah, namun ketia bersama dengan kami justru dia merupakan sosok yang sangat humoris dan jahil. Salah satu kejahilannya yang seperti tak ada habisnya ialah menggodai Raniah sebagai pasangannya, walaupun Raniah tidak pernah mau meladeninya.
“Hah, serius?! Kamu sakit, Saph?” Raniah berseru terkejut mendengar penjelasan Syauqi dengan memasang wajah khawatir yang melebihi reaksi Syauqi sebelumnya. Ia segera memegang wajahku dengan kedua telapak tangannya untuk memeriksa suhu tubuhku.
“Eiss, jangan teriak-teriak, Ran! Malu loh, semua orang jadi ngeliatin kesini.” Aku memperingati Raniah dengan suara pelan sambil menahan malu dan beberapa gejala psikologisku yang mulai bereaksi ketika aku merasa menjadi sorotan utama, seperti saat ini. Jujur saja, seruan Raniah tadi memang terdengar sangat lantang, bahkan sekumpulan murid pentolan yang bersebrangan dengan kami sejauh 100 meter saja spontan ikut menengok dan memperhatikan kami.
“Tadi sempet ngerasa enggak enak aja, detak jantungku berasa kenceng dan cepet banget. Tapi, sekarang udah baik-baik aja, kok.” Aku tersenyum sambil menurunkan kedua telapak tangan Raniah yang berada di wajahku. Sengaja, memberikan sinyal kepadanya bahwa tubuhku sedang bereaksi terhadap psikologisku yang sedang merasa terancam. Jangan lupakan fakta bahwa hanya Raniah satu-satunya kerabat terdekatku yang mengetahui rahasia tentang penyakit psikologisku.
“Yaampun, maaf, Saph! Aku lupa, soal itu! Oke deh kalau kamu enggak apa-apa.” Balas Raniah merasa bersalah setelah memahami maksud reaksi Bahasa tubuhku barusan. Sayangnya, kalimat Raniah justru memancing rasa ingin tahu Syauqi saking ia merasa khawtir dengan kondisiku.
“Soal itu? Itu apa, Ran? Ada yang enggak gua tau, ya, soal Raina?” Tanya Syauqi menginterogasi kami atau lebih tepatnya menginterogasi Raniah yang segera menutup rapat mulutnya, tidak ingin memberitahu Syauqi soal kondisiku. Kepekaan Syauqi memang yang paling tajam diantara kami bertiga. Sejak dulu, jika ada sesuatu buruk yang menimpaku atau Raniah, Syauqi adalah orang pertama yang menyadarinya, bahkan sebelum kami membuka mulut atau meneteskan air mata di depannya.
“Ada apa, Ran? Sampe lari-larian, gitu! Aku kan enggak kabur kemana-mana.” Tanyaku dengan sedikit bergurau untuk mengalihkan perhatian Syauqi yang sedang dalam mode serius.
Dua tahun bersahabat dengannya, membuatku paham, bahwa Syauqi walaupun dalam kesehariannya bertingkah petakilan, namun dia adalah sosok lelaki yang penuh dengan tanggungjawab pada setiap amanah yang dibebankan di pundaknya. Apalagi setelah ia bertemu dan menjadi adik binaan Bang Ahwaz, Syauqi selalu diingatkan tentang pertanggungjawaban di hari pembalasan atas amanah-amanah yang dipikulnya saat di dunia. Apalagi beban untuk menjagaku adalah amanah yang dipercayakan langsung kepadanya oleh murabbinya sendiri yang tak lain adalah abangku. Jadi, aku bisa memahami dengan baik respon Syauqi yang seperti ini. Hanya saja, persoalan penyakit psikologisku ini, aku memang belum siap untuk membagikannya kepada siapapun selain Raniah.
“Gue tau, kalian udah hapal banget kalo gua ga bisa dikibulin. Jadi, mending sekarang jujur sama gua! Siapa yang mau jelasin?” Syauqi kembali menginterogasi kami dengan nada bicara dan ekspresi wajahnya yang semakin serius. Membuat aku dan Raniah bergidik ngeri dan saling bertukar tatapan ketakutan, tak berani menjawab apalagi menatap balik Syauqi yang berdiri semaakin mendekat kepada kami. Sudah kuduga akan begini. Memang, bukan hal yang mudah untuk mengelabui Syauqi karena ketajaman kepekaannya dalam membaca situasi.
“Oke, aku paham kamu mau tau dan ya, sebagai ayah angkat Saphire kamu memang harus tahu. Tapi, bisa kita kesampingin dulu, Qi? Serius Syauqi, ini ada yang lebih urgent dan ini menyangkut Raina. Jadi, sekarang kamu harus dengerin ini dulu!” Pinta Raniah menenangkan Syauqi. Ia akhirnya memberanikan diri untuk melawan ketakutannya dan membalas Syauqi dengan tatapan dan nada bicara yang tak kalah serius. Kali ini, Syauqi mengalah. Ia melembutkan raut wajah garangnya yang tegang dan memundurkan langkahnya beberapa langkah untuk kembali menjaga jaraknya dengan kami yang bukan mahramnya. Raniah ganti menengok kepadaku dan mengulurkan telapak tangan kanannya ke depanku. Ia segera menggenggam erat telapak tangan kiriku, ketika aku meletakkannya diatas uluran telapak tangannyan Raniah.
“Just relax and do’t be freak out, okay?” Raniah memberikan aba-aba kepadaku dengan tatapannya yang masih serius, namun sedikit lebih tenang.
Aku melirik Raniah dan Syauqi bergantian dengan perasaan campur aduk, antara takut, penasaran, dan tegang.
— To be Continued —
Bismillah. Assalamualaikum, Sahabat! Panggil aja aku Safiir. Menulis adalah kegiatan sekaligus senjataku untuk menumpahkan segala isi pikiranku. Abi adalah orang pertama yang mengenalkanku pada kegiatan ini. Semoga, dengan akun ini aku bisa memberikan lebih banyak manfaat dan reminder buat teman-teman semua lewat tulisan-tulisan aku. Semangat!