The Guardian : Healing Inside You ~ Eps. 3 : Ayah Angkat
“Morning, my Princess!” Sapa Syauqi sambil memasukkan smartphonenya ke saku celananya, ketika kedua matanya beradu dengan tatapanku saat aku menuruni tangga masjid. Dialah teman lelaki pertama di sepanjang kehidupanku. Kabar kalau keluarga sangat taat beragama, memang bukan hanya sebatas rumor. Kata Bang Ahwaz, sejak kecil umma dan baba memang sangat membatasi bahkan menutup pertemananku dengan lawan jenis. Apalagi semenjak Bang Ahwaz menjadi satu-satunya orangtuaku, menjelang memasuki masa remaja, ia bahkan membuat perjanjian denganku untuk mengenalkan siapapun laki-laki yang berteman denganku.
Syauqi beranjak dari anak tangga di depan pintu masuk masjid area Ikhwan dengan menjinjing sebuah bungkusan berwarna coklat yang berisi sarapan pagiku. Sejak pertemuan pertamanya dengan Bang Ahwaz dua tahun lalu, ia berhasil menjalin hubungan kekeluargaan yang sangat erta dengan abangku. Siapa yang menyangka, hubungan kekeluargaan itu bahkan bisa mendorong Bang Ahwaz untuk mengamanahkan sebagaian perannya sebagai orangtuaku kepada Syauqi, bahkan meminta anak lelaki petakilan ini untuk menyiapkanku sarapan setiap pagi selama kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung. Itulah sebabnya, lelaki ini menjadi manusia kedua yang mengetahui keburukanku dan tetap menerimaku. Syauqi berjalan santai menghampiriku dengan senyuman di wajahnya yang begitu sumringah membuat wajahnya terlihat manis. Aku berdiri di depan anak tangga terakhir yang aku turuni. Bukannya aku tidak ingin memangkas jarak diantara kami, namun dengan kakinya yang panjang dan lebar, bahkan tanpa perlu kupangkas dia sudah bisa memangkas jarak 100 meter diantara kami hanya dengan beberapa langkah saja.
“Nih, sarapan dulu!” Perintah Syauqi hangat, sambil menyuguhkan bungkusan coklat di tangan kanannya yang berdiri 50 sentimeter dari tempatku. Aku mengambil bungkusan tersebut dan melihat menu sarapanku pagi ini. Tidak ada yang berubah, tetap menu sarapan andalan Syauqi yang dipilih karena aku pernah mengatakan menu sarapan favoritku adalah roti lapis dan coklat panas.
“Lo enggak berniat ganti menu sarapan gua gitu, Qi?! Ini udah jadi menu sarapan gua selama setahun loh, Qi!” Ocehku sambil menunjukkan raut wajah kecewaku dengan sedikit memajukan bibir bawahku. Bukannya aku tidak menyukai menu ini, namun bayangkan saja jika selama satu tahun berturut-turut disuguhkan dengan menu sarapan yang sama, tetap saja rasanya akan merasa bosan untuk melahapnya. Syauqi menaikkan kedua alisnya dan menyeruput susu coklat kesukaannya dari gelas berukuran medium yang tadi ia bawa di tangan kirinya saat membawa sarapanku.
“Yaudah, sini balikin kalo lo gamau makan!” Omel Syauqi, sambil menyodorkan tangan kanannya, meminta kembali sarapan pagi yang telah ia berikan tanpa memedulikan raut wajahku.
“Alhamdulillah, makasih yaa Syauqi udah bawain sarapan buat gua tiap pagi! Pasti lo capek deh, bantuin Pak Oding tiap pagi bikinin coklat panas paling enak seumur hidup gue!” Sindir Syauqi dengan menirukan gaya dan suara centilku saat pertama kali Syauqi menyiapkan sarapan untukku di sekolah.
“Lo mah enggak bersyukur, dah! Masih mending bisa sarapan, gua yang nyiapin lagi! Noh, sodara-sodara kita di Palestina aja belum tentu hari ini masih bisa sarapan. Bisa jadi, semalem mereka pengen menu sarapan lo, eh taunya Israel nembak bom, DOR! Syahid mereka, Na, sebelum ngerasain sarapan yang lu pegang. –Raina, Raina! Ini masih pagi loh, Na! Lo mah demen banget bikin mood gue jelek!” Kesal Syauqi yang kemudian mendudukkan tubuhnya kasar di anak tangga masjid di belakangku, sambil menyeruput kembali susu coklatnya yang tinggal setengah. Aku tersenyum melihat tingkahnya saat kesal. Entah kenapa menurutku itu sangat imut dan sangat menghiburku, bahkan seringkali aku sengaja membuatnya kesal hanya untuk menantikan tingkahnya.
“Eh, iya ya, Qi? Tapi Qi, lo juga demen banget deh, jadi moodbooster gue kalo mood gue lagi jelek!” Aku menggodanya, cara yang paling efektif untuk mengembalikan mood Syauqi yang aku pelajari selama dua tahun persahabatan kami. Lihat saja, raut wajahnya sekarang sedang berusaha menutupi senyumannya karena merasa malu.
“Yasudah, besok Tuan Putri mau dibuatkan menu sarapan apa? Inshaallah, saya akan siapkan menu sarapan yang baru khusus untuk Tuan Putri.” Syauqi balas menggodaku. Aku terkejut bukan main, mendengarnya. Sungguh, ini pertama kalinya Syauqi mengatasi salah tingkahnya karena godaanku dengan balas menggodaku. Seingatku biasanya setelah merasa malu, dia hanya akan terdiam sambil menegukkan minumannya atau pura-pura memainkan smartphonenya.
“Apasih, Syauqi! Udahlah, terserah lo aja.” Jawabku sekenanya. Jujur saja, aku masih belum bisa menerima pembaruan respon Syauqi yang tiba-tiba balas menggodaku. Kini, justru giliran aku yang menjadi salah tingkah karena godaannya.
“Dih, gitu doang? Gua kirain bakal bales godain gua lagi, haha! Malu lo?” Tembak Syauqi tepat sasaran. Ia tersenyum puas, melihatku sibuk menutupi wajah maluku yang mulai merona.
“Udah tau, ngapain nanya, sih?!” Balasku semakin kesal dengan Syauqi yang semakin pandai menggodaku. Ditambah lagi, wajahku yang semakin terasa panas menahan malu, membuat rona di pipiku mulai terlihat.
“Alhamdulillah! Akhirnya, setelah sekian lama, gua bisa ngeliat Raina salting!” Seru Syauqi dengan senyuman lebarnya yang semakin memenuhi wajah manisnya. Benar-benar menunjukkan betapa ia merasa puas dengan usahanya menggodaku.
“Ah, rese lu! Eh, anyway, thanks loh, Qi, tadi lo udah reminder gua soal bersyukur dan Palestina. Sorry, malah protes tadi. Makasih banyak juga sarapannya, salamin ke Pak Oding makasih dari gua.” Ucapku yang akhirnya berhasil kembali mengendalikan emosiku. Ucapan Syauqi soal kondisi saudara-saudara muslim di Palestina, tiba-tiba terlintas di pikiranku. Membuat hatiku terbersit perasaan rindu kepada mereka. Ingin rasanya terbang menyusul mereka, berjuang dan syahid bersama. Namun, aku masih mempertanyakan kemampuan yang bisa kukerahkan untuk menolong dan berjuang bersama mereka kelak. Sedangkan, untuk mensyukuri nikmat Allah saja aku masih pilih-pilih.
“Eh, Na! Itu Althaf bukan sih, Na?” Tanya Syauqi meminta kepastian dariku sambil menunjuk sekumpulan murid berseragam yang baru saja tiba di depan pintu masjid yang bersebrangan dengan posisi kami. Sejak tadi, rupanya ia sudah tidak lagi memperhatikan pembicaraanku dan justru lebih tertarik mengamati sosok lelaki yang ia pertanyakan. Tak banyak berkomentar, mendengar nama lelaki yang disebut Syauqi, aku segera mengalihkan pandanganku mengikuti arah pandang yang ditunjuk Syauqi.
“Lah iya, Na. Althaf itu! Tumben dia bawa gerombolannya ke masjid dhuha-dhuha gini! Udah berhasil ngehijrahin gengnya kali ya, Na!” Syauqi mengoceh sendiri, menuturkan pendapatnya mengenai pertanyaan yang baru saja ditanyakannya padaku. Aku diam saja, ikut mengamati sekumpulan murid-murid pentolan IIMS yang seangkatan dengan kami dan berasal dari kelas yang dijuluki warga sekolah kami sebagai kelas papan atas. Tentu saja, karena di dalamnya terdapat tiga murid pentolan IIMS yang memelopori terbentuknya grup musik di IIMS dan telah tersohor hingga saat ini di seluruh penjuru bumi pertiwi.
Entah, apakah suara hatiku yang sedang membicarakan mereka terdengar atau tidak. Namun, tanpa sengaja kedua mata kedua mataku beradu mata dengan seorang lelaki diantara mereka yang dianggap sebagai pemimpin kelompok pertemanan mereka. Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Lelaki tersebut adalah orang yang menempati urutan pertama dari daftar siswa IIMS yang harus ia hindari berdasarkan catatan Raniah untukku. Sepertinya, dia menyadari bahwa mataku sedang terpaku padanya dan diam-diam dia tersenyum padaku saat teman-temannya yang lain sedang terlihat ramai beradu argumen. Tiba-tiba saja tubuhku menjadi kaku dan mataku membelalak kaget. Aku merasakan setruman hebat yang membuat jantungku berdenyut lebih cepat, bahkan sangat cepat.
Sejujurnya, aku sudah sering merasakan bagaimana rasanya ketakutan. Tapi, sepertinya ini bukan respon yang pernah kualami ketika aku sedang merasa takut. Kupejamkan mataku sejenak untuk menenangkan diri dan lelaki itu masih tersenyum padaku, bahkan semakin lebar dan sangat manis. Sungguh, itu adalah senyuman paling manis yang pernah kutemui dan senyuman pertama yang aku dapatkan dari seseorang yang paling berpengaruh di IIMS, Rayyan Athalla Zaky. Aku memalingkan wajahku ke sembarang arah dan beristighafar berulang kali dalam hatiku. Sudah tiga detik aku menatap matanya dan itu adalah batas maksimalku bertatapan dengan lawan jenis yang bukan mahramku.
“Qi…” Aku memanggil Syauqi lirih. Mendengar nada bicaraku yang tidak biasanya, lelaki yang telah disebut Bang Ahwaz sebagai ayah angkatku selama abangku bersekolah di Madinah, segera memalingkan pandangannya kepadaku dengan raut wajah khawatirnya.
“Kenapa, Na? Sakit, lu?” Syauqi memastikan kondisiku dengan suaranya yang melembut. Tentu saja Syauqi khawatir. Apalagi, di hari ketika Bang Ahwaz mengamanahi Syauqi untuk membantunya menjagaku, abangku memberitahukannya tentang betapa rapuhnya tubuhku dan sangat mudah jatuh sakit. Namun, aku hanya bergeming sambil memandang ke hamparan rumput di bawahku. Aku bertanya ke dalam hatiku berulang kali, apa yang sebenarnya terjadi padaku saat ini.
“Ini perasaan apa ya, Qi?” Tanyaku kemudian, setelah beberapa saat mendongakkan kepalaku menatap Syauqi dengan memasang mimik wajah dan nada suara yang penuh kepolosan. Sungguh, aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Sekalipun, belum pernah.
— To be Continued —
Bismillah. Assalamualaikum, Sahabat! Panggil aja aku Safiir. Menulis adalah kegiatan sekaligus senjataku untuk menumpahkan segala isi pikiranku. Abi adalah orang pertama yang mengenalkanku pada kegiatan ini. Semoga, dengan akun ini aku bisa memberikan lebih banyak manfaat dan reminder buat teman-teman semua lewat tulisan-tulisan aku. Semangat!