The Guardian : Healing Inside You ~ Eps. 5 : Relaps

Safar Safiir
20 Desember 2023 09:25
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Aku tau, saat ini Syauqi sangat penasaran tentang banyak hal. Semuanya tergambar jelas di wajahnya yang terlihat memikirkan banyak hal, sejak Raniah menolak memberitahunya soal penyakit psikologisku. Tapi Syauqi berusaha menahan dirinya, karena Raniah menyebutkan namaku pada berita besar yang akan dia umumkan pada kami saat ini. Aku memejamkan mataku dan berusaha keras menenangkan diriku dengan berulang kali menarik dan membuang napas panjangku secara perlahan. Setelah perasaaanku sudah lebih tenang, aku membuka mata dan menganggukkan kepalaku kepada Raniah. Aku sudah siap mendengarkan Raniah.

Okay, Raina, this is a nightmare news! A big bad and horrible news! Siap atau enggak, tapi Raina, tahun ini kita bakal sekelas, bahkan satu kelompok belajar sama mereka! Rayyan dan temen-temen populernya. Aku baru cek daftarnya waktu ada yang share dokumennya di grup kelasku sebelumnya.” Raniah dengan takut-takut mencoba menjelaskan berita buruk di hari pertama sekolah kami sambil sesekali bergantian menatapku dan menatap sekumpulan murid-murid pentolan IIMS yang kini tengah berjalan mendekati kami.

Okay, I hear you. Jadi, bad newsnya adalah?” Tanya Syauqi yang masih belum paham dengan situasi yang terjadi. Namun, raut wajahnya telah menunjukkan bahwa ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan kami, ditambah melihat respon raniqh yang bergeming, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda ia akan menanggapi pertanyaan syauqi dan pandangannya masih terfokus kepadaku dengan mimik wajah yang penuh kekhawatiran. Aku tahu, Raniah sudah merasakan tanganku yang mulai bergemetar.

“Okay, good job, girl! Stay calm, okay! Sini, sarapannya aku bawain.” Ucap Raniah berusaha tetap tenang di hadapanku agar reaksi psikologis tubuhku tidak terpancing. Sayangnya, getaran dalam nada bicara Raniah terdengar cukup jelas di telinga Syauqi yang berdiri 30 sentimeter dari tempat kami berdiri. Lelaki itu mengerutkan dahinya, melemparkan pandangan meminta penjelasan segera kepada Raniah terkait kondisiku saat ini. Namun, Raniah memilih untuk berpura-pura tidak melihatnya dan menyibukkan diri untuk mengambil bungkusan makanan yang masih kufenggam di tangan kananku.

Aku tahu, saat ini Raniah sedang panik dengan penyakit psikologisku yang sudah mulai menunjukkan gejala kekambuhannya. Tapi, dia masih berusaha terlihat tenang untuk membantuku menutupi penyakitku dari Syauqi yang mungkin saja akan segera mengabarkan kondisiku kepada Bang Ahwaz dan Raniah tahu, aku paling tidak suka membuat abangku satu-satunya itu khawatir di tengah kesibukannya menempuh pendidikan S2 nya di Kota Nabi.

Sejujurnya, aku tidak ingin menyia-nyiakan perjuangan Raniah. Namun, saat ini aku masih belum berhasil mendistraksi pikiranku. Bayangan ketika aku harus bersatu dengan murid-murid pentolan dan puluhan, bahkan ratusan pasang mata menatapku dan seakan ingin menerjangku, membuat reaksi tubuhku semakin bergemetar hebat. Keringat dingin di sekujur tubuhku mulai bercucuran. Kekhawatiran Raniah terbukti, traumaku kembali lagi.

“Saph, istighfar! Lawan, Saph! Kamu pasti bisa!” Mohon Raniah sambil menguatkan genggaman tangan kami yang mulai kendor karena keringat dingin yang membanjiri telapak tanganku.

Sambil menahan air matanya yang sudah akan tumpah dari pelupuk matanya yang elok, Raniah masih tetap berusaha melawan rasa putus asanya untuk tetap optimis agar traumaku tidak kambuh. Namun, tak berapa lama, sedikit demi sedikit air matanya tumpah, mengaliri wajah putih bersihnya ketika melihat wajahku yang semakin pucat dan suhu tubuhku yang mulai dingin. Membuatnya teringat pada tiga tahun lalu ketika ia menemaniku melewati masa-masa krisisku melawan trauma ini.

Sama seperti Raniah, aku juga berusaha sekuat tenaga untuk tetap mempertahankan tubuhku. Namun, bayangan-bayangan ratusan orang yang mengelilingi dan memusatkan pandangannya padaku, sungguh menyiksaku. Rasanya, tubuhku mulai melemas. Pandanganku mulai buram dan terlihat bayangan-bayangan berwarna kuning. Genggaman tanganku terlepas dari Raniah dan tubuhku mundur beberapa langkah tanpa bisa kukendalikan. Aku memejamkan mataku, merasakan tubuhku yang akan terjatuh ke hamparan rumput yang aku pijaki.

Bug.

Bukan. Bukan seperti ini rasanya terjatuh ke hamparan rumput. Aku merasakan tubuhku ambruk, tetapi bukan ke hamparan rumput. Dengan sisa tenagaku, kupaksakan mataku membuka untuk mencari tahu yang terjadi. Kulihat raut wajah seorang lelaki yang tak kalah paniknya telah menangkap tubuhku dan berlari menggendongku. Entah kemana dia akan membawaku pergi, mungkin ke UKS. Tapi, seingatku itu bukan wajah Syauqi.

“Rayyan!” Samar-samar aku mendengar suara teriakan penuh kepanikan dan kekhawatiran Raniah memanggil sebuah nama. Pikiranku kembali bekerja, mencari dan mencocokkan data-data dalam memori ingatanku untuk menampilkan wajah lelaki bernama Rayyan.

“Rayyan, lo enggak boleh bawa Raina!” Sekali lagi, Raniah meneriakkan namanya dengan lebih histeris.

Tunggu dulu. Sepertinya aku pernah mendengar nama ini, tetapi pikiranku terlalu lemah untuk bekerja. Jadi, kuputuskan mengerahkan seluruh sisa tenagaku untuk membuka mataku. Namun sayangnya, ketika mataku akan terbuka, terdengar riuh suara gemuruh saling berteriak di sekelilingku. Membuat respon psikologisku bereaksi lebih kuat terhadap traumaku. Terlambat. Seluruh tubuhku melemas. Aku sudah tidak sadarkan diri.

— To be Continued —


  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •