The Guardian : Healing Inside You ~ Eps. 6 : Bangun
Hari ini Syauqi datang lagi. Entah sudah hari ke berapa, aku bahkan tidak tahu sudah berapa hari aku tidak sadarkan diri. Aku juga tidak tahu dimana diriku sekarang berada, apakah masih di UKS sekolah, di kamarku. Tetapi mendengar berisiknya suara monitor di sekitarku, firasatku saat ini aku sedang dirawat di rumah sakit. Tubuhku kaku, sama sekali tidak bisa digerakkan. Satu-satunya indra tubuhku yang masih berfungsi dengan baik adalah pendengaranku. Itulah sebabnya aku masih dapat mendengar suara Syauqi walaupun mataku masih belum dapat membuka. Sejujurnya aku juga tidak tahu pasti, apakah benar itu suara Syauqi atau bukan. Pastinya itu adalah suara laki-laki, tapi seingatku tidak ada satu lelaki pun, bahkan abangku, yang memanggilku dengan dua huruf terakhir dari nama sapaanku selain Syauqi. Jadi, kuasumsikan dulu saja lelaki tersebut adalah Syauqi. Setidaknya itu membuatku sedikit merasa tenang, karena bagiku Syauqi sudah seperti abang keduaku. Jika ada Syauqi, aku selalu merasa aman. Karena aku percaya, Syauqi akan selalu melindungiku. Entah dia melakukannya karena keinginannya sendiri atau demi menunaikan amanah dari Bang Ahwaz. Sejak hari pertama aku tidak sadarkan diri, aku selalu mendengar suara Syauqi.
“Assalamualaikum, Na! Lo pernah bilang kan suka banget wangi melati. Yah, walaupun agak serem sih bagi gue, tapi hari ini gua bawain buat lo. Wangi banget, Na! Gua taro di sini ya!” Syauqi berceloteh tanpa henti di samping ranjang tidur pasien yang kutiduri.
Aku tahu, dia berusaha mengerahkan segala cara untuk membangunkanku. Mulai dari menceritakan kisah di sekolah, membawa serta Pak Bimo dan Mbok Halimah untuk mengajakku berbicara tentang masa kecilku, mengundang Afkar dan Thariq untuk membacakanku ayat-ayat al-Qur’an, sampai membawakanku apa saja barang-barang favoritku yang mungkin akan memicu fungsi kognitifku agar segera sadar. Sebenarnya bukan hanya Syauqi, aku sendiri pun sudah sangat lelah dan ingin segera sadarkan diri. Aku sudah sangat rindu merasakan puasnya tertawa hingga keluar airmataku, karena mendengar lelucon yang dilontarkan Syauqi atau bahkan melihat polahnya yang kocak, sisi tersembunyi Syauqi yang tidak akan pernah diketahui oleh warga sekolah IIMS. Aku juga sangat rindu meluapkan berbagai ceritaku kepada Raniah, satu-satunya sahabat kecilku yang kumiliki sejak kejadian mengenaskan itu. Benar, itu dia. Raniah. Sepertinya sejak aku dipindahkan ke rumah sakit, aku belum pernah sekalipun mendengar suaranya lagi. Ada yang aneh. Syauqi bahkan bukan hanya tidak pernah membahas sahabatku itu, dia juga tidak pernah membawa Raniah datang menjengukku. Ada sesuatu yang terjadi diantara kedua sahabatku itu selama aku tidak sadarkan diri.
“Na, sori ya, gue enggak bawa Raniah kesini. Gua juga enggak ngasih tau Raniah ruangan rawat lo. Sumpah, Na, gua kecewa berat sama sahabat kecil lo! Bisa-bisanya dia nutupin penyakit lo dari gua selama ini. Bahkan waktu lo enggak sadar juga di UKS, dia tetep enggak mau jujur ke gua soal penyakit lo! Padahal gua kira, kita bertiga udah saling percaya. Lo juga kenapa enggak pernah cerita ke gua sih, Na! Lo kan sekarang tanggungjawab gua, Raina! Jangan-jangan lo masih enggak percaya sama gua ya, Na?” Aku Syauqi dengan nada sendu. Walaupun hanya mendengarkan suaranya, namun aku bisa memahami perasaan bersalah dalam hati Syauqi. Bagaimanapun Raniah telah lebih lama menjadi sahabat dan menemani kesepianku jauh sebelum aku mengenal Syauqi di tahun pertamaku bersekolah di IIMS.
Sudah kuduga, pasti ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. Kalau tidak salah ingat, ketika aku tidak sadarkan diri dan masih berada di UKS, aku memang mendengar terjadi adu mulut antara Syauqi dan Raniah. Saat itu, nada bicara Syauqi terdengar campur aduk antara khawatir, panik, dan marah, sedangkan Raniah lebih banyak diam dan enggan menanggapi pertanyaan Syauqi yang berapi-api. Tadinya kupikir, pertengkaran itu tidak akan berlanjut lama dan keesokan harinya mereka segera berbaikan. Namun dari pernyataan Syauqi barusan, sepertinya ini bukan pertengkaran biasa yang bisa dengan mudah memaafkan dan melupakan peristiwanya begitu saja seperti beberapa pertengkaran kami sebelumnya. Sebenarnya aku juga merasa bersalah pada Syauqi, padahal sudah banyak pengorbanan yang Syauqi lakukan untuk menjagaku selama ini dan tanpa pamrih. Baginya, aku baik-baik saja pun sudah cukup membalas semua usaha yang dia kerahkan.
“Na, ayo bangun dong, Na! Serius, Na, kejadian ini bikin gua nyadar kalo gua belum cukup baik ngejalanin amanah dari abang lu. Gua juga takut, masih banyak hal yang lo tutupin dari gua. Asli Na, di kepala gua banyak pertanyaan yang pengen gua tanyain ke lu! Termasuk soal Rayyan. Lo sebenernya ada apa sama Rayyan? Apa sebelum kenal gua lo udah kenal Rayyan? Kenapa Raniah panik banget waktu Rayyan gendong lu? Apa lo sama Rayyan punya masa lalu yang buruk? Bahkan gara-gara pertanyaan itu, gua sampe suudzon ke Rayyan dan ngelarang dia masuk ke ruangan lu. Gua sampe setiap mau masuk ruangan lu, banyak banget drama nyuruh Rayyan pergi.” Tutur Syauqi mengutarakan isi hati dan pikiran yang membebaninya beberapa hari ini.
Rayyan. Ternyata manusia itu adalah laki-laki yang begitu cekatan menagkap tubuhku dan begitu panik membawaku ke ruang UKS saat itu. Laki-laki yang membuatku merasakan perasaan aneh yang baru kurasakan selama ini. Sebetulnya, aku pernah merasakan perasaan yang mirip saat aku beradu tatap dengan Rayyan, saat aku berada di tahun pertamaku bersekolah di IIMS. Tapi, saat itu tidak sampai membuat jantungku berdegup kencang seperti kemarin. Hanya sedikit terasa desiran di dadaku. Ah, aku jadi teringat pesan terakhir Bang Ahwaz ketika aku mengantarnya di bandara, sebelum ia terbang ke Kota Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam. “Selamat datang di fase pubertas, Raina! Selamat menikmati perasaan-perasaan baru yang membingungkan, namun membuatmu tersenyum bahagia,” begitu katanya.
“Raina, lu betah banget dah, tidur! Bangun kek, Na! Kalau entar abang lu nanyain, gua harus jawab apa? Gua enggak mau sampe bohongin abang lu! Ah, tau deh, Na! Pokoknya kalau sampe abang lu nelpon, terus nanyain lu dan lu masih enggak bangun, liat aja, gua bakal ceritain kondisi lu yang sebenernya. Enggak mau kan, lu? Pasti enggak mau. Makanya, buruan bangun, Raina!” Ancam Syauqi hampir putus asa. Benar saja, tidak lama setelah Syauqi menyelsaikan ocehannya, tiba-tiba smartphone yang da kantungi di saku celananya berdering.
“Nah, kan! Bener aja, abang lu nelpon!” Ucap Syauqi hampir berseru ketika melihat nama kontak yang melakukan panggilan telepon dengannya di layar smartphonenya.
Ajaib! Seruan Syauqi akhirnya berhasil memberikan rangsangan pada fungsi kognitif tubuhku. Perlahan, jari tanganku mulai bergerak walaupun dengan gerakan yang masih lemas. Aku mencoba membuka mataku, rasanya cukup berat, seperti ada sesuatu yang menahan mataku untuk membuka. Tetapi ada bisikan di dalam kepalaku bahwa aku harus bangun dan membuka mataku. Aku harus menghentikan Syauqi untuk mengatakan kondisiku saat ini kepada abangku yang sedang berjuang menempuh pendidikannya di negeri dan kota impiannya setelah pengorbanan jatuh bangunnya selama ini.
“Qi…” Aku memanggil Syauqi lirih. Berhasil! Setelah sekian lama, akhirnya aku berhasil bangun dari tidur panjangku. Aku berusaha bangun dengan tertatih, mendudukkan tubuhku di atas ranjang pasienku dengan sekujur tubuhku yang masih terasa lemas.
“Eh, jangan bangun dulu, Na! Udah, tiduran aja! Gua panggilin dokter dulu! Alhamdulillah Na, akhirnya lu sadar juga! Ya Allah, Raina, Raina! Ternyata rangsangan lu kudu ngancem ngaduin ke abang lu dulu. Tau gitu gua dari awal langsung ngancem nelpon Bang Ahwaz aja, biar lu cepet sadar.” Syauqi berseru bahagia dan terharu melihatku yang akhirnya tersadar setelah berhari-hari tak sadarkan diri.
“Qi, jangan!” Pintaku lirih. Bukan hanya tubuhku yang tidak berdaya untuk bergerak, bahkan untuk berbicara pun aku belum mampu untuk mengucapkan satu kalimat penuh dari perkataan yang ingin kuucapkan. Rasanya begitu berhasil mengeluarkan satu atau dua kata, sisanya terhenti begitu saja di ujung mulutku dan tidak mampu kukatakan. Syauqi tersenyum lembut menatapku seakan-akan ia mengerti dengan maksud perkataanku yang tidak utuh.
“Iya, tenang aja! Lu kan udah nepatin janji lu buat sadar. Jadi, sekarang giliran gua nepatin janji gua buat ngerahasiain dari abang lu. Udah, istirahat. Tubuh lu masih lemes, lu kan enggak makan berhari-hari enggak ada tenaga. Gua panggilin dokter dulu ya!” Tutur Syauqi lembut berusaha menenangkanku akan kekhawatiranku tentang Bang Ahwaz. Mungkin Syauqi belum terlalu lama mengenal keluargaku yang kini hanya terdiri dari aku dan Bang Ahwaz, saja. Sahabat laki-lakiku itu pun memang belum banyak mengenal abangku, orang yang begitu ia hormati dan ia jadikan panutan. Tapi, ada satu hal yang paling diingati Syauqi tentang abangku dan satu hal yang juga menjadi kekhawatiranku paling utama, yakni selalu memprioritaskanku di atas apapun.
— To be Continued —
Bismillah. Assalamualaikum, Sahabat! Panggil aja aku Safiir. Menulis adalah kegiatan sekaligus senjataku untuk menumpahkan segala isi pikiranku. Abi adalah orang pertama yang mengenalkanku pada kegiatan ini. Semoga, dengan akun ini aku bisa memberikan lebih banyak manfaat dan reminder buat teman-teman semua lewat tulisan-tulisan aku. Semangat!