The Guardian : Healing Inside You ~ Eps. 7 : Impian Syauqi
“Assalamualaikum, Raina! Anak kesayangan gue!” Sapa Syauqi dengan wajah yang penuh dengan senyum sumringahnya ketika melihatku sedang duduk bersandar pada tumpukan bantal di atas ranjang tidur pasienku setelah ia membuka pintu ruangan rawatku.
“Waalaikumussalam, Papski!” Ucapku masih setengah lemas sambil menyeringaikan senyum gembiraku menyambut kedatangan satu-satunya sahabat lelakiku yang mendeklarasikan dirinya sebagai ayah angkatku selama abangku menempuh pendidikan S2 nya di Kota Madinah, Saudi Arabia.
“Sekarang lu alih profesi jadi kurir bunga nih, Qi? Udah pensiun jadi kurir sarapan gue?” Aku melontarkan guyonan dengan maksud menyindir Syauqi yang kupergoki menggenggam seikat bunga melati di tangan kirinya ketika sedang berdiri membelakangiku untuk menutup pintu ruangan perawatanku.
Sejak kemarin sore, setelah dokter dan perawat penanggungjawabku melakukan serangkaian observasi setelah aku tersadar dari tidur panjangku, aku sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruang perawatan ICU, namun masih tetap harus menginap di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lanjutan dan observasi secara berkala untuk memastikan tidak ada gejala atau komplikasi dari kondisiku yang masuk ke rumah sakit dalam kondisi tidak sadar dan berlangsung dengan durasi yang cukup lama, walaupun tidak sampai dikategorikan sebagai koma. Jadi, setelah perawat ICU melepaskan kabel-kabel monitor yang terpasang di tubuhku, aku segera dipindahkan ke ruang rawat inap anak, mengingat aku masih berusia remaja.
“Selama lo di rumah sakit kan, sarapan lu udah tersedia. Yaudah, jadi gua alih profesi dulu jadi tukang kembang. Bunga di vas lu, gua ganti dulu yang baru ya. Udah pada layu gitu.” Balas Syauqi terkekeh pelan menahan malu. Kemudian, ia kembali berjalan santai menuju vas bunga kecil berbahan kaca transparan yang ia sediakan di atas nakas di samping ranjang tidur pasienku dan membawanya ke dalam kamar mandi untuk mengganti air dan bunga melati yang telah layu dengan seikat bunga melati baru yang ia bawa.
“Makasih ya, Qi! Sori jadi ngerepotin, lo!” Ucapku masih dengan nada bicara yang pelan karena kondisi tubuhku yang belum sepenuhnya pulih.
“Santai aja, kalik! Kayak sama siapa aja, lo!” Balas Syauqi santai sambil meletakkan kembali vas bunga denga bunga melati yang tampak begitu menyegarkan dan menbarkan wangi yang sangat kusukai ke tempatnya kembali, sama sekali tidak merasa terbebani dengan apa yang selama ini ia lakukan untukku.
Aku tahu betul, bahwa lelaki inilah yang sibuk sana dan sini mengurusi segala administrasi perawatanku selama di rumah sakit, karena Pak Bimo dan Mbok Halimah tidak terlalu paham dengan hal yang seperti itu. Bahkan saat aku pindah ruang perawatan kemarin, Syauqi juga terlihat kerepotan mengarahkan dan membantu Pak Bimo dan Mbok Halimah untuk mengurusiku. Padahal, saat kuperiksa waktu di layar smartphoneku telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
“Heh, itu muka lu ngapain gitu?! Udah, gausah mikir aneh-aneh. Kalo lo ngerasa bersalah sama gua, buruan sehat. istirahat yang bener, makan yang bener. Cepet pulang ke rumah, balik sekolah lagi. Belajar yang bener. Udah tingkat akhir, siapin buat masuk SMA yang bagus, biar abang lu bangga dan bisa tenang, enggak khawatir mulu sama kondisi disini! Noh liat, tray makanan lu belum dibuka. Buruan makan, masa kudu gua pantengin baru lu makan?” Omel Syauqi panjang lebar saat melihatku membuat ekspresi merasa bersalah dan tidak enak hati kepada Syauqi. Aku tersenyum tipis, kemudian perlahan membuka plastik penutup tray makanan pagiku yang telah diantarkan oleh perawat, tadi pagi-pagi sekali.
“Nah, iya gitu dong, makan yang banyak! Noh, wortel makan juga, jangan pilih-pilih yang lu makan!” Syauqi cerewet sekali mengomentariku yang sedang menyendokkan makanan ke dalam mulutku.
“Iya, ih! Lo kok jadi bawel banget sih, Qi! Tenang aja napa, entar gua abisin semuanya!” Balasku gemas. Baru kali ini aku mendengar Syauqi cerewet sekali mengomentari cara makanku. Biasanya, dia akan membiarkanku memakan makananku dengan cara dan pilihanku sendiri.
“Eh, Na! Gimana rehabilitasi lo?” Syauqi membuka topik pembicaraan yang baru sambil menemani aku menghabiskan menu sarapan pagiku.
“Hmm… iyah. Gua lupa ngabarin lo. Jadi, tadi subuh dokter udah masuk, yah observasi biasa sih ditanyain keluhan gitu. Terus, karena gua bilang enggak ada keluhan yang gimana-gimana, cuma lemes doang aja sih dan karena kemarin hasil observasi pas gua sadar gaada tanda-tanda tubuh gua yang bahaya cuma tekanan darah gua aja yang tinggi, jadi katanya enggak ada rehabilitasi khusus. Cuma masih mau dimonitor aja kondisi tubuh gua sampe besok. Kalau, tekanan darah gua udah balik normal dan gaada tanda-tanda bahaya yang lainnya, inshaallah lusa gua udah boleh pulang.” Aku menjelaskan hasil pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter penanggungjawabku ketika usai memeriksa kondisiku tadi pagi, sambil asik menyuapkan dan mengunyah makanan di dalam mulut.
“Alhamdulillah, deh! Good! Makin cepet pulang, makin bagus. Gua jadi semakin cepet punya backingan buat ngehandle kelas. Karena lo kemarin gaada di kelas, jadi posisi ketua kelas di kasih ke gua. Tapi, kata Pak Yusuf, gua boleh milih wakilnya sendiri. Cuma akhirnya, sebelum beliau nutup kelas perkenalan kemarin, beliau bilang gini, “Tapi Syauqi, saya berharap kamu mau mempertimbangkan Raihanah untuk jadi wakil kamu”. Hahah” Tawa Syauqi setelah menirukan gaya bicara Pak Yusuf, wali kelas kami yang belum pernah digantikan oleh guru lainnya sejak kami berada di kelas tujuh.
“Hahaha. Terus lu bilang gimana?” Balasku setelah ikut tertawa bersama Syauqi, karena polah wali kelas kami yang memang telah menjadikanku murid andalannya sejak di kelas tujuh yang saat itu aku memegang posisi sebagai ketua murid di kelasnya.
“Yaudah gua senyum aja, gua bilang aja, “Iya, Pak. Inshaallah, saya sedang mempertimbangkan Raihanah untuk jadi wakil saya”, gitu deh pokoknya.” Jawab syauqi dengan menggambarkan mimik muka yang ia tunjukkan saat berbicara dengan Pak Yusuf hari itu.
“Heleh. Bilang aja, emang lo dari awal pengennya gua kan yang jadi ketua kelasnya!” Aku menggoda Syauqi yang langsung tersenyum malu, karena berhasil kupergoki kata hatinya saat pembahasan ketua kelas bersama wali kelas kami di hari pertama sekolah kemarin.
“Bukan cuma gua, kalik! Satu kelas juga pasti udah ngandelin lo jadi ketua kelas lagi. Lo kan “The Best Ketua Kelas Ever” di IIMS” Sanggah Syauqi membenarkan tuduhanku padanya sambil menyerukan sebutan yang dibuat oleh teman-teman kelas kami untukku saat di kelas delapan kemarin, kemudian kami pun tertawa bersama menyadari betapa lucunya julukan tersebut.
“Eh anyway, Qi, tadi lo bilang butuh gua buat ngehandle tugas lo sebagai ketua kelas. Emang lo ada urusan apa?” Tanyaku ingin tahu sambil mengulangi lagi pernyataan Syauqi sebelumnya.
“Oh, iya, Na! Itu, turnamen basket nasional, kan bentar lagi, tuh! Jadi, mulai minggu ini kita udah mulai latihan rutin lagi. Ya, fisik. Ya, strategi. Lagipula, babak penyisihan tingkat daerah kan, tinggal dua minggu lagi. Jadi, kayaknya gua bakal ngerepotin lu urusan kelas sampe akhir tahun ini, hehe” Syauqi nyengir setelah menjelaskan maksud pernyataannya sebelumnya.
Benar juga, turnamen basket nasional akan dilaksanakan di akhir tahun ini. Turnamen ini merupakan turnamen basket paling bergengsi yang diadakan setiap tahun oleh salah satu perserikatan liga basket Indonesia yang diikuti oleh tim basket dari setiap sekolah mulai dari jenjang dasar hingga menengah di seluruh Indonesia. Apalagi, tahun ini merupakan kesempatan terakhirnya untuk mengikuti turnamen tersebut, karena Yayasan Al’Abid memiliki kebijakan, bahwa seluruh murid didiknya yang menduduki bangku kelas 6, 9, dan 12 untuk menghentikan segala bentuk partisipasi dalam kegiatan yang tidak berkaitan dengan akademiknya di semester genap.
Sebelum ayahnya menikahi ibunya dan berkecimpung di dunia bisnis, ayah Syauqi adalah seorang atlet basket profesional. Lihat saja ketika beliau berada di luar meja kerjanya, maka semua akan dapat melihat proposi tubuhnya yang begitu tinggi menjulang dan kekar. Syauqi sering bilang, ayahnya itulah yang mengenalkan dan mengajarinya basket sejak ia kanak-kanak dan akhirnya menjadi sebab utama perceraian kedua orangtua Syauqi, karena ibunya yang tidak pernah menyukai profesi atlet. Tidak akan bisa menjamin kehidupan jangka panjang, katanya.
Walaupun begitu, Syauqi tetap mencintai basket, seperti cinta sejatinya. Setiap kali topik mengenai basket keluar dari mulutnya, maka ia akan menceritakannya dengan mata yang berbinar dan dengan nada bicara yang menggebu-gebu, serta senyum tersipunya yang yang memenuhi wajahnya. Benar-benar seperti tingkah seorang lelaki yang sedang jatuh cinta dengan seorang gadis pujaannya. Entah akan secemburu apa pendamping hidupnya nanti dengan kecintaannya pada basket yang seakan tak pernah pudar, bahkan setiap hari terasa seperti hari pertamanya jatuh cinta dengan salah satu kategori olahraga bola tersebut. Apalagi, sejak ayahnya memutuskan untuk mengadopsi Afkar sebagai anak angkatnya, sepeninggal kakek Afkar, satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah kedua orangtuanya menelantarkannya karena Afkar memilih untuk memeluk agama islam seperti kakeknya, membuat Syauqi percaya diri bahwa masih ada orang lain yang akan membantu untuk mengurusi dan meneruskan kepemimpinan di perusahaan yang dibangun ayah Syauqi.
“Inshaallah, Qi! Doain aja gua bisa cepet keluar dari rumah sakit dan masuk sekolah lagi. Lo bisa ngandelin gua kalau soal ngurusin anak-anak kelas, mah!” Ucapku penuh percaya diri berdasarkan pengalamanku menjadi ketua kelas selama dua tahun berturut-turut dengan komposisi murid di kelas kami yang hampir selalu sama di setiap levelnya.
“Kalau gitu, lo enggak bisa sering-sering nengokin gua lagi kan, mulai besok? Tolonglah Qi, berbaik hati ijinin Raniah nemenin gue! Plis!” Aku memohon kepada Syauqi sambil merapatkan kedua telapak tanganku dalam posisi vertikal dan memasang wajah memelas, berusaha melunakkan hati Syauqi yang memang terkenal sulit diluluhkan ketika ia telah bertekad akan sesuatu.
Syauqi tiba-tiba terdiam sambil memasang wajah datarnya yang mengerikan, tepat setelah nama Raniah terlontar keluar dari bibirku. Ini dia tatapan wajah Syauqi yang paling mengerikan dan selalu paling ingin kuhindari, justru kali ini aku sendiri yang mengundangnya muncul di hadapanku dan kini membuatku bergidik ngeri. Aku segera merapatkan bibirku rapat-rapat dan melempar pandanganku menghindari tatapan mata Syauqi yang seakan hendak menikamku.
— To be Continued —
Bismillah. Assalamualaikum, Sahabat! Panggil aja aku Safiir. Menulis adalah kegiatan sekaligus senjataku untuk menumpahkan segala isi pikiranku. Abi adalah orang pertama yang mengenalkanku pada kegiatan ini. Semoga, dengan akun ini aku bisa memberikan lebih banyak manfaat dan reminder buat teman-teman semua lewat tulisan-tulisan aku. Semangat!