Nikmatnya Berkhusnudzon Kepada Allah


Bismillahirrohmanirrohiim. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat Sore, Teman-temna semuanya! Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan baik lahir maupun batin oleh Allah subhanahu wata’ala. Aamiin.
Sore ini, izinkan aku menemani teman-teman menunggu maghrib sambil menceritakan sebuah pelajaran penting yang seringkali kita lupakan. Betul. Tentang berkhusnudzon atau berprasangka baik kepada Allah.
Seperti kata pepatah, bahwa hidup kita itu bagaikan rotasi bumi dan roda yang berputar. Ada kalanya kita berada di atas. Ada kalanya kita berada di bawah. Ada kalanya nikmat kita berupa kekayaan. Ada kalanya kenikmatan kita berupa kesederhanaan. Dan beberapa bulan terakhir ini, roda kehidupanku sedang berada di bawah. Semuanya haru serba ekstra. Termasuk dala hal finansial. Aku harus ekstra hati-hati dalam membelanjakan uang yang aku punya, untuk bisa bertahan hidup hingga roda kehidupanku kembali berada di atas.
Pada awalnya, jujur, yaa tentu masa adaptasi itu masa-masa yang paling sulit, terutama bagi diriku sendiri. Dari yang biasanya segala keinginan, entah butuh atau tidak, bisa dibeli dengan segera dan tanpa banyak waktu untuk memikirkannya. Lalu, saat itu aku berada di saat-saat kritis yang mengharuskan aku benar-benar haru memperhitungkan dan berhati-hati dalam membelanjakan uangku. Mulai memisahkan antara keinginan dan kebutuhan. Memisahkan antara hal yang harus segera dibeli dan yang bisa ditunda. Memisahkan antara hal lebih prioritas untuk dipenuhi dan yang tidak. Meskipun itu bukan kali pertamaku menghadapi masa krisis, namun itu adalah kali pertamaku mengalami masa krisis yang benar-benar membuatku stres dan hampir putus asa.
Namun, aku selalu percaya bahwa Allah mentakdirkan sesuatu untuk MakhlukNya bukannya tanpa maksud. Seperti yang Ustad Hanan Attaki sering sampaikan, boleh jadi balasan dari Allah atas kebaikan-kebaikan kita bukan berupa kebaikan yang sama seperti yang kita berikan kepada makhluk Allah lainnya, tapi balasan itu boleh jadi berupa hal yang sangat kita butuhkan pada saat kita melalui ujian tersebut, yakni keteguhan hati, kelapangan hati, dan kesabaran. Dan Allah memberikan itu kepadaku secara berangsur-angsur. Sampai pada akhirnya, aku dapat beradaptasi dengan kondisi baruku dan nikmatnya lagi, Allah kembalikan hasratku dan semangatku untuk senantiasa “merecharge” iman dengan istiqomah dalam kegiatan dakwah dan mendengarkan kajian-kajian walaupun secara daring. Tapi jujur, itu nikmat. Entah seberapapun rasanya aku mau mengeluh, entah seberapapun rasanya aku mau putus asa, entah seberapapun rasanya aku ingin menangis, sebesar itulah bahkan lebih besar lagi Allah kuatkan pundakku, teguhkan hatiku, tenangkan hatiku, sabarkan hatiku dengan hati dan lisan yang selalu mengucap istighfar. Sampai akhirnya aku berada di posisi yang selalu berusaha untuk berkhusnudzon kepada Allah. Entah seberapa banyak pun ekspektasi atau harapan yang berbalik dengan realita yang aku dapatkan.
Berjalannya waktu, alhamdulillah Allah mudahkan perjalananku, bertahan di masa-masa kritis ini dengan selalu berkhusnudzon dengan selalu bertawakkal dan memasrahkan diri kepada Allah. Sampai akhirnya, tadi malam murabbi di kelompok Liqo-ku membawakan materi yang di salah satu poinnya membahas mengenai “Khusnudzon”.
“Entah sepahit atau semanis apapun takdir yang kita hadapi, jangan pernah berhenti untuk berprasangka baik kepada Allah.” Begitu kata beliau. Dari Abdullah bin mas’ud pernah mengatakan, “Tidak ada kenikmatan yang lebih indah dari nikmatnya berprasangka baik kepada Allah”. Jujur, bagi teman-teman yang belum merasakannya, mungkin akan terasa ganjil. Mungkin teman-teman akan merasa denial atau merasa “Apaan, sih?!” Nggak apa. Itu wajar. Tapi kawan, sayang sekali bahkan rugi sekali jika kamu belum pernah merasakannya. Karena betul, nikmatnya berprasangka baik kepada Allah adalah nikmat, yang paling indah paling nikmat tiada tara.
Dalam liqo tadi malam, murabbi-ku menyampaikan sebuah kisah. Inti kisah itu, ialah sebuah keluarga yang mana ibu di keluarga tersebut memiliki 7 anak laki-laki dan semuanya beriman kepada Rasulullah dan mengabdi pada Rasulullah. Singkat cerita, 6 dari 7 anak lelaki itu mati syahid di medan peperangan dan menyisakan seorang anak bungsunya yang Allah takdirkan memiliki skenario penjemputan ajalnya yang berbeda ialah dengan terbaring sakit. Ibunya kemudian menangis, bukan karena anaknya akan meninggal. Melainkan, karena anak bungsunya meninggal bukan dalam kondisi syahid. Namun, sebelum anak itu menghembuskan napas terakhirnya, ia mengatakan kepada ibunya, tentang ke Maha Rahman dan Rahimnya Allah kepada seluruh makhlukNya. Bahkan kasih sayang Allah lebih besar daripada kasih sayang ibunya yang tidak ingin anaknya masuk ke dalam neraka. Ketika lelaki itu wafat, kemudian Rasulullah menghibur ibunya, bahwa atas prasangka baik lelaki tersebut kepada Allah, maka Allah pun memberikan kabar baik, bahwa Ia Allah Yang Maha Penyayang, telah mengampuni dan menghapuskan semua dosa-dosa lelaki tersebut. Allahu Akbar! Masha Allah, bukan?! Begitu luarbiasa dan Dahsyat, nikmat dari berprasangka baik kepada Allah. Anak itu, baru aja mengucapkan prasangka baiknya kepada Allah dan secara langsung Allah mengabulkan prasangka tersebut. Lelaki tersebut, telah berprasangka bahwa Allah tidak akan memasukkannya dalam neraka, maka kemudian Allah menyelamatkan lelaki tersebut dari api neraka dengan menghapuskan semua dosa-dosanya. Lebih kilat daripada cahaya petir saat hujan.
Maka, hari ini aku pun mengalami hal serupa. Aku baru saja kembali ke kosan dengan perut yang kelaparan. Berharap di sepanjang jalan menuju kosan, aku bisa membeli makanan yang sesuai dengan sisa uangku yang semakin menipis. Namun, qadarullah, semua warung yang aku datangi tutup. Kemudian, sambil memakan persediaan makanan yang ada aku berusaha sekuat mungkin untuk tetap berkhusnudzon kepada Allah. Aku yakin Allah Yang Maha Kaya Lagi Maha Penyayang, tidak akan membiarkanku kelaparan. Toh, selama 22 tahun ini Allah selalu memberikan aku rezeki, selalu memberikan aku makan sehingga aku tetap bisa bertahan hidup. Maka, siang itu dengan kosdisi menahan lapar kuputuskan untuk tidur. Berharap, ketika bangun, rasa laparku akan menghilang. Tapi, Allah Yang Maha Penyayang, memiliki skenario yang lebih indah dari sekadar menghilangkan rasa laparku.
Ketika aku bangun tidur, sambil menunggu waktu ashar, aku memeriksa pesan masuk ke HP-ku. Dan diantara pesan-pesan tersebut, tiba-tiba saja kedua orangtuaku yang baru saja pulang dari keperluannya di kampung halamanku, mengabariku bahwa mereka hendak mengantarkan makanan kesukaanku, kue kacang, ke kosanku. Allahu Akbar. Singkat cerita, ketika aku menerima bungkusan oleh-oleh itu, ternyata, mereka juga menaruh satu bungkus nasi kucing (nasi bungkus dengan satu jenis lauk dalam porsi mini) di dalam bungkusan oleh-oleh tersebut. Tidak hanya itu, juga ada sebungkus mi telur goreng dan roti.
See? Belum ada 1×24 jam dari sejak aku berprasangka kepada Allah yang akan memberikan rezeki untukku. Mengenyangkan aku entah bagaimana cara Allah Yang Maha Kaya membuat skenarionya. Dan, tadaa– bukan sulap apalagi sihir. Inilah, Kuasa dari Yang Maha Berkehendak. Enggak perlu lah sampe ngemis-ngemis makan. Apalagi melakukan hal nekat atau merendahkan diri lainnya. Kalau kita memang yakin kepada Allah, beriman kepada Allah, maka berimanlah dengan sepenuh iman kita. Yakinlah kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Yakinlah, tanpa ada keraguan, walaupun cuma setitik. Ingatlah, kawan. Seluruh yang ada di langit dan di bumi ini adalah milik Allah. Dia yang menciptakan, maka Dia juga yang akan memelihara seluruh ciptaanNya. Kalau kita yakin Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan Yang Maha Memiliki 99 Asmaul Husna, Tuhan Yang Tidak Pernah Tidur, apalagi mengantuk, Tuhan Yang Maha Kaya lagi Maha Luas Kekayaannya, lalu untuk apa kamu merasa takut, merasa gelisah, merasa khawatir? Berimanlah kepada Allah dan yakinlah Ia yang akan memenuhi semua kebutuhan kita. Tapi, ingat! Bukan tanpa usaha yah! Tetap harus berusaha, berikhtiar tapi iringi juga dengan tawakkal dan senantiasa berprasangka baik kepadanya.
With Love,
Shafar Safiir
