The Guardian : Healing Inside You ~ Eps. 11 : Surprise!

Safar Safiir
29 Desember 2023 22:52
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Dua tahun yang lalu, di hari kedua pertemananku dengan Syauqi, ia mengajakku untuk makan siang bersama di kantin sekolah. Saat itu Raniah sedang sibuk mengikuti pembinaan untuk persiapan olimpiade sains nasional pada kategori biologi, jadi hanya aku yang diajak Syauqi. Awalnya aku menolak, tapi Syauqi bilang ia , hendak mengenalkanku pada dua sahabat kecilnya yang berada di kelas pemimpin, kelasnya dulu, jadi aku iyakan saja ajakannya. Itulah kali pertamaku berkenalan dengan Afkar dan Thariq. Syukurnya tidak lama setelah terdengar pengumuman kepada seluruh murid IIMS yang mendaftar seleksi peserta olimpiade pengetahuan islam nasional untuk berkumpul, karena sebelumnya aku juga ikut mendaftar untuk mengikurti seleksi tersebut, jadi aku segera pamit kepada mereka dan segera menuju ke ruangan yang telah disebutkan dalam pengumuman tadi. Namun entah skenario apa yang telah Allah tuliskan, ternyata aku kembali dipertemukan dengan Afkar pada seleksi tersebut, dan hasil seleksi tersebut kembali mempertemukan kami sebagai rekan satu tim bersama dengan Althaf, bahkan ia terpilih menjadi ketua tim kami.

Tidak ada kesan khusus bagiku setelah dua kali pertemuanku dengannya di hari itu, aku hanya mengakui kabar yang beredar di kalangan murid perempuan IIMS bahwa semua laki-laki di kelas pemimpin IIMS memiliki karakter yang dingin dan tidak banyak bicara. Tapi siapa yang menyangka kalau setelah kami membina hubungan baik sebagai rekan tim, justru lelaki ini sangat banyak sekali bicara, apalagi ketika kami kembali dipilih sebagai tim inti untuk mengikuti olimpiade yang sama di tahun berikutnya ia justru semakin membuka diri dan memamerkan sifat usilnya yang sering sekali menggodaku dan membuat gosip baru tentangku. Hingga akhirnya, kami kembali bertemu di hari ini dan ternyata dia masih saja suka sekali bergosip tentangku.

“Mohon maaf nih bapak ketua tim, tanpa mengurangi rasa hormat, anda sepertinya hobi sekali yang membuat gosip baru tentang saya. Pertama waktu itu gue sama Althaf, terus kemarin bahkan sampe tadi pas lo masuk masih lo gosipin sama Thariq, sekarang Syauqi juga?” Balasku mengomeli kebiasaan kurang baik Afkar sebagai seorang muslim, walaupun aku tahu maksudnya hanya untuk bergurau denganku. Afkar hanya tersenyum tipis menanggapi omelanku yang sepertinya sudah mulai terbiasa ia dengarkan setiap kali ia membuat gosip baru tentangku.

“Lo mah ikhwan-ikhwan malah ngegosip mulu! Udah ah, buruan tadi lo mau ngomongin apaan soal klub lo?” Aku mengajak Afkar untuk beralih pada pembahasan yang ingin ia sampaikan padaku daripada berlama-lama membahas gurauannya yang bisa jadi membuka peluang bagi para makhluk ghaib yang terkutuk untuk membisikkan kami untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan fitnah. Afkar kembali tersenyum tipis, memang dasar lelaki dingin ini pelit sekali memberikan senyumannya. Tapi itu baik sekali untuk menyelamatkan detak jantungku yang hampir meledak.

“Iyedeh. Yaudah, gua bahas soal klub gua, ya? Jadi waktu liburan kemarin, ayah ngajakin gua ngobrol soal persiapan tim IIMS buat ikut olimpiade pengetahuan islam nasional buat tahun depan. Yah, gua sih jujur aja belum kepikiran soal itu. Lo juga tau kan, gua anti banget anaknya interaksi sama anak-anak kelas lain. Sama yang seangkatan aja boro-boro, apalagi lintas angkatan. Gua gatau sih apa yang terjadi setelah itu, yah males juga ngepoinnya. Tapi dua hari sebelum masuk sekolah tiba-tiba wakepsek akademik dan kesiswaan ngajakin gua ketemu di sekolah, intinya sih mereka ngasih tau kalau di semester ini sekolah bakal ngadain klub baru, Islamic Club namanya, inti kegiatannya yah belajar pengetahuan islam secara kaffah. Ya tauhid, aqidah, fiqih, sirah juga. Selain belajar, tujuan lainnya juga sekalian buat nyiapin kandidat tim yang bakal diikutin buat olimpiade selanjutnya.” Jelas Afkar santai tanpa membuat ekspresi apapun di wajahnya seperti biasa. Aku memperhatikan penjelasannya dengan saksama sambil mengerutkan dahiku, salah satu ciri khasku ketika aku sedang serius atau fokus pada suatu hal yang kulakukan.

“Hem… menarik. Bagus dong kalau gitu. Terus kenapa? Lo enggak mungkin cuma sekadar cerita doang ke gue, kan? Bukan lo banget, deh, kayaknya!” Tanyaku menyelidiki tujuan Afkar sebenarnya setelah mengomentari asal-usul dibentuknya Islamic Club yang ia jelaskan tadi.

“Huft…” Afkar menghembuskan napas dengan kasar, gemas dengan responku yang sepertinya tidak peka terhadap maksud terselubung saat ia menyebutkan kalimat terakhir dari penjelasannya sebagai petunjuknya.

“Sekolah minta kita, gue, lo, dan Althaf, buat ngelola klub ini. Masa lo enggak nangkep maksud gue sih, Rai?” Kesal Afkar sampai-sampai ia tidak sengaja meninggikan nada bicaranya pada akhir kalimatnya.

“Oh, yaudah. Tapi lo sama Althaf kan yang jadi ketua-wakilnya? Gue enggak mau jadi ketuanya ya! Lagian, tim kita kan selalu lo yang jadi ketuanya. Apalagi Althaf udah dua periode jadi ketua rohis IIMS, cocoklah itu.” Aku membalas pernyataan Afkar dengan santai dan begitu polos. Afkar membelalakkan kedua bola matanya, terkejut dengan responku yang sama sekali tidak merasa keberatan atau terbebani dengan amanah ini mengingat tahun ini merupakan tahun terakhir kami bersekolah di IIMS yang dipenuhi dengan persiapan ujian-ujian akhir sekolah dan ujian masuk sekolah ke jenjang berikutnya.

“Raina lo bener-bener paling bisa bikin gua kaget, ya! Begitu aja respon lu? Padahal gua sama Althaf kemarin seharian nyiapin berbagai dialog buat nanggepin lo, kalo skenarionya lo nolak tawaran ini.” Afkar memberitahuku dengan gemas sambil menunjukkan selembar kertas lusuh yang baru saja ia keluarkan dari saku celananya.

“Kenapa harus nolak? Kenapa juga harus ngerasa terbebani? Eh bentar, deh! Ngelola klub itu maksudnya kita yang jadi pengajarnya juga, kan?” Tanyaku mengkonfirmasi detail tugas dari amanah mengelola klub yang Afkar sebutkan sebelumnya.

“Raina lo serius? “Kan?” Itu lo enggak salah nambahin kata imbuhan di pertanyaan lo?” Lagi-lagi Afkar terkejut dengan respon yang kuberikan terhadap berita yang ia kabarkan padaku.

“Jawab aja, kenapa sih?! Ngajar juga, kan?” Aku mendesak Afkar memberikan jawaban atas pertanyaanku sebelumnya.

“Iya, Raina. Sekolah udah enggak punya pengajar buat klub ini. Lagian, klub ini juga dibikinnya mendadak. Belum sempet dirapatin sama pengajar dan tenaga pendidik yang lain.” Jawab Afkar sambil menjelaskan alasan atas jawaban yang ia berikan untuk pertanyaanku. Aku tersenyum senang mendengar jawaban Afkar, sesuai dengan dugaanku. Namun, lagi-lagi Afkar memberikan respon terkejut dengan membelalakkan matanya tidak percaya dengan responku atas jawabannya.

“Alhamdulillah! Sip, gue daftar jadi sekretaris umum kalian. Nanti gue bikinin kurikulumnya sama plotingin pengajarnya sesuai pembagian lo waktu olimpiade sebelumnya. Gimana, oke kan? Tenang aja, lo berdua cukup bantuin gue observasi progres tiap pesertanya aja nanti. Bagian penilaian sama pengelompokan tim yang bakal maju, biar gua yang tanganin! Boleh kan, Kar?” Aku memohon kepada Afkar sambil mempresentasikan rencanaku sebagai sekretaris klub dengan begitu optimis dan percaya diri, seakan-akan gambaran dari semua rencana itu ada di depan mataku. Kali ini Afkar menggelengkan kepalanya sambil menunjukkan senyum tipisnya.

“Rai, lo enggak minta pun emang gua sama Afkar udah berencana gitu. Lagian dari jaman kita jadi rekan tim dulu, emang selalu lo kan yang paling rapih nyusun jadwal latihan dan belajar buat persiapan lomba. Rapih dan intens banget jadinya kegiatan persiapan olimpiade kita waktu itu. Sampai sekarang aja gua masih inget banget yang gua pelajari waktu itu.” Aku Afkar sambil mengingat kembali memori ketika kami mempersiapkan olimpiade tersebut secara mandiri, karena memang saat itu tidak ada tenaga pengajar IIMS yang bisa mendampingi dan membimbing kami secara intens. Siapa yang menyangka, persiapan yang mandiri itu justru bisa mengantarkan kami menjadi juara satu hingga tingkat nasional. Mungkin itulah yang menjadi pertimbangan amanah ini diserahkan kepada kami.

“Good. Ilmu sepenting itu emang gaboleh dilupain gitu aja, Kar. Nah biar ilmu lo makin awet, makanya kita harus jadi pengajar di klub ini nantinya. Kata guru gue waktu SD, salah satu cara untuk mengkekalkan ilmu, ya dengan mengajarkan ilmu itu ke orang lain dan mengamalkannya sehari-hari. Jadi, ini peluang yang bagus kan? Ngomong-ngomong, kapan klub kita dimulai, Kar?” Tanyaku bersemangat usai membagikan sedikit nasihat dari guru favoritku saat di bangku sekolah dasar yang menjadi penyemangatku dalam memperbanyak belajar dan mengajarkan ilmu yang kupelajari hingga saat ini.

“Hem… Ngeliat lo semangat gini, berarti gue sama Althaf harus buru-buru nyiapin pengumuman pembukaan klubnya nih, biar bisa cepet dimulai. Makanya, lo juga buruan sehat lagi dan balik sekolah lagi! Kalo kita mulai tanpa lo, kayaknya bakalan repot banget gue sama Althaf.” Ucap Afkar memberiku semangat.

“Tenang aja, Ketua! Inshaallah, dua hari lagi gua masuk sekolah, kok!” Ujarku begitu optimis sambil mengembangkan senyuman riangku yang hampir memenuhi wajahku dan membuat pipi chubbyku menggembung. Afkar ikut tersenyum geli hingga deretan gigi putihnya sedikit terlihat olehku. Ini pertama kalinya aku melihat Afkar tersenyum selebar ini. Lagi-lagi aku merasakan desiran di hatiku yang hampir membuatku gelisah.

“Yaudah, biar lo makin semangat sembuhnya, gua punya hadiah buat lo!” Ucap Afkar begitu bersemangat. Aku mengerutkan dahiku, kemudian menaikkan kedua alisku sambil memberikan tatapan penuh ingin tahu kepada Afkar yang sibuk membuat ekspresi penuh rahasia.

— To be Continued —


  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •